Perkataan Lucrius sewaktu aku masih gadis kecil memang benar adanya. Itu berlaku pula pada kami karena bagi kami, kehormatan dan harga diri merupakan sesuatu yang sangat penting. Menunduk dan memohon maaf penuh rasa bersalah bukanlah hal yang pantas dilakukan oleh bangsawan maupun rakyat biasa. Mungkin alasan Lucrius membuatku gemetar agar aku sadar bahwa sekalipun berkedudukan tinggi, kekalahan bisa mengintai kapanpun. Tapi kesempatan untuk memutar roda selalu tersedia jika jeli melihat.
Suara jam menggema disepenjuru ruangan. Keadaan sunyi membuat sang pengantar surat berkeringat dingin. Dia melaporkan balasan atas permintaanku dua puluh menit lalu. Pelayan-pelayan tadi masih berdiri tegak menemani. Wajah Sarah sudah pucat pasi, dia tidak menyangka aku akan senekat itu.
"Dengan ini, atas nama Aresnia Rezoster Kesatu mengabulkan permintaan terakhir dari Sierra Lizbeth Ezerald. Pengeksekusian dilakukan oleh peminta sendiri tanpa seorang algojo suruhan. Sekian!"
Rezoster? Rezim Rezoster ya. Ternyata Ares punya nyali mengganti marga keluarga. Padahal sebelum ini ia masih membanggakan nama Ezerald. Aku mengepalkan tangan di atas pangkuan dan tak lama berselang menghembuskan napas. Manik mataku iseng memeriksa reaksi Sarah. Dia berdiri dalam bayangan ketakutan, seluruh tubuhnya gemetar seperti disergapi hawa dingin.
"Kemarikan pedangnya," titahku kepada pembawa surat yang menyarungi sebilah pedang. Ia bereaksi cepat lantas mengoperkan pedangnya. Sensasi menarik pedang yang lama tak kurasakan membawa euforia tersendiri. Para pelayan bergerak membawa Sarah jatuh berlutut setelah aku memberikan isyarat. Kali ini mereka tidak membantah sebab Ares memberikan izin.
Aku berjongkok, mendekati telinganya untuk berbisik, "jadi bagaimana rasanya mengetahui ajal semakin dekat, Sarah?"
"..." Sarah bungkam, wajahnya tertunduk dalam. Antara menangisi takdir atau mengutuk nasib. Dua-duanya aku tidak peduli. Sarah harus menerima konsekuensi perbuatannya.
"JAWAB SARAH!"
"Gadis bodoh! Setelah ini kau juga akan mati sialan!" Wajahnya segera terangkat, menampilkan emosi penuh dendam yang sangat aku pahami. Dia sudah putus asa makanya memiliki keberanian semacam itu. Mengataiku bukan tindakan terpuji dalam situasinya yang genting.
"Heee, setidaknya kau mati ditanganku, Sarah hahahahaha." Aku tertawa keras seperti hampir gila seraya menusukkan pedang ke jantung Sarah. Darah yang menciprati wajah dan tangan tidak semerta-merta membuat jijik. Ketika tubuh Sarah ambruk aku bangkit dan mengelap wajah juga tanganku menggunakan sapu tangan. Rasanya lumayan lega. Salah satu orang yang membuat Ibunda mati aku habisi.
Tanpa aku sadari, pandangan para pelayan terhadapku berubah. Mereka yang mulanya meremehkan sewaktu aku digiring kemari kini tak berani terang-terangan menatap. Baguslah. Aku ingin membenamkan rasa ketakutan itu agar kematianku setidaknya meninggalkan kesan. Meski aku berharap bisa kabur sebelum hari itu tiba.
"Kukembalikan pedangmu. Bersihkan menggunakan air hangat dan buah lime agar bau anyirnya hilang," bilangku pada tukang pengantar surat sembari menyuruhnya untuk pergi.
Aku duduk di depan meja rias sementara para pelayan sibuk mengurusi mayat Sarah. Pantulan cermin memvisualisasikan gadis bersurai emas pudar dan mata madu terlihat bagaikan seorang berdarah dingin diusia belia. Tanganku yang tanpa perban bergerak menyentuh pipi. Pikiranku anehnya tidak meledak-ledak, tenang dan sangat terkontrol.