"Sir Anakin?" Aku bertanya gusar. Memastikan bahwa apa yang indra pendengaranku tangkap nyata adanya. Bukan akal-akalan penyihir yang menciptakan ilusi untuk memerangkapkanku. Anakin menganggukan kepala mantap, mengira aku telah menerima kehadirannya yang baru - atau tidak, sebab dia selalu seperti itu. Bertampang bangsawan elit terhormat. Sama sekali asing.
"Mantan wakil kapten? Bisa kau jelaskan Lady Nithea? Aku lebih mempercayaimu sekarang." Irisku beralih pandangan ke Nithea yang sedang mengambil obor dari tangan mayat. Kemunculan Anakin bersama lentera menerangi kami setelah obor yang dipegang prajurit menyentuh lantai dingin, namun Nithea lebih mengedepankan penggunaan apa yang sudah ada.
"Dia pernah menjadi wakil kapten selama satu tahun sebelum kembali ke Dratagnan. Sir Anakin merupakan keluarga Duke di Dratagnan. Dia satu-satunya keturunan Duke yang memiliki kekuatan Doppelganger." Nithea beranjak dari posisi jongkok, ia meletakkan kembali obor saat menyadari benda itu tidak cukup berguna sekarang.
Tungkaiku melangkah mendekati Anakin. Dia kelihatan gugup dan menghindari tatapan mataku. Entah harus bereaksi bagaimana terhadap permasalahan ini. Doppelganger? Masalah sebesar itu tapi disembunyikan. Aku kecewa. Anakin masih menganggapku anak kecil ternyata. Aku benci diremehkan.
"Tuan Putri, tolong jangan menatap saya seperti itu. Saya benar-benar tidak bermaksud berbohong, hanya meminimalisir kegagalan." Telunjuk Anakin menggaruk pipi. Kepekaannya membuatku tidak nyaman. Aku yang bingung hanya bisa tertawa. Kedua tangan memegangi perut seolah ucapan Anakin mengandung kegelian taraf tinggi.
"Ah astaga ... apanya yang meminimalisir? Ibuku meninggal asal kau tahu. Berkata jujur atau berbohong sepertinya tidak berpengaruh," timpalku tajam. Anakin menghela napas pasrah sementara Nithea diam mengawasi. Kakinya mengetuk-ngetuk lantai tak sabar seperti menunggu sesuatu.
"Itu di luar kendali kami. Maafkan saya Tuan Putri. Saya akan menebusnya dengan membebaskan Anda dari sini."
Sebelum aku memberikan jawaban, Nithea mendorong tubuhku ke samping secara tiba-tiba. Dia lalu mengambil sebuah obor yang kukira sudah ditelantarkan kemudian menyerahkannya padaku. Tanpa disadari, aku sudah masuk ke mulut pintu baru yang mirip goa.
Tubuhku terhuyung pelan ketika Nithea benar-benar mendorongku memasukinya, "hei apa maksudmu?" Tukasku marah. Dia seenak jidat mendorong tubuh orang disaat aku membutuhkan jawaban. Aku benar-benar tak habis pikir!
"Tuan Raxel akan menjawab semua pertanyaan Anda. Dia menunggu di ujung lorong. Maaf saya tidak bisa menjelaskannya, Tuan Putri. Kita sudah kehabisan waktu." Anakin menekan salah satu bata di samping dinding. Aku kembali tersentak
"Tunggu! Sir Anakin! Lady Nithea!" Pintu mulai kembali menutup. Anakin melambai pelan sembari melempar seutas senyum tulus. Nithea hanya membungkukan badan hormat. Kegelapan yang merayap meresmikan perpisahan kami.
***
Lorong ini tidak cukup panjang dibandingkan jalan menuju sel tahanan. Aku bisa merasakannya melalui kelembapan yang tercipta, sedikit membuat bulu kudukku meremang dan gusar. Buru-buru obor pemberian Nithea aku nyalakan dengan hanya menjentikkan jari. Sudah lama apiku tidak bergerak bebas.
Karena masih dihantui rasa penasaran tinggi, aku menempelkan telinga ke pintu batu. Sedetik. Setengah menit. Dua menit. Waktu berlalu tanpa ada keributan dari sebrang. Seakan kami terpisah dalam dua sisi koin yang sama. Aku lantas memantapkan diri melangkah maju sambil mendoai keselamatan mereka. Biarpun Anakin dan Nithea mengusikku, aku tak bisa menyangkal ketulusan niat mereka.