Penginapan yang menjadi destinasi kami terletak dipemukiman dekat hutan. Agak terisolasi, bahkan lebih parah dari daerah Farefall. Siapa sangka kesunyian hutan nampak tak berpengaruh sebab aku melihat lentera-lentera terang sepanjang jalan. Beberapa pria dewasa masih bercengkrama seraya mengusap senjata berburu. Membagi tawa dan cerita. Desa ini hidup. Aku merasa bersalah karena tidak pernah memperhatikannya.
"Kau sering pergi berburu di hutan tapi tidak tau eksistensi desa ini?" Raxel melayangkan tanya yang cukup membuat perasaanku bercampur aduk. Aku memilih diam daripada menimpali dan berakhir beradu mulut. Toh Raxel setelahnya ikutan bergeming.
Sepatuku sudah sangat kotor saat kami tiba dipelataran penginapan. Lantai kusamnya kurang menyamarkan lumpur di bawah sepatuku. Aku sedikit khawatir sang pemilik mendepak kami alih-alih menerima tamu hanya karena aku mengotori lantai.
"Apa kita harus masuk ... " kataku ragu. Raxel mendadak berpindah ke belakangku, menepuk kedua bahuku pelan sebelum mendorong ke dalam. Dibandingkan Nithea, dorongan Raxel penuh tenaga sehingga membuatku hampir terjerembab jika ia tidak kuat menahannya.
"Apa kau memang sering tidak sopan, Sir Raxel?" Aku memijat pelipis ketika kami sampai di depan meja resepionis. Seorang wanita tua menyambut sumringah, lebih tepatnya hanya kepada Raxel. Aku sama sekali tidak terlihat ada dimatanya.
"Di sini aku hanya orang biasa, untuk apa berlagak bangsawan?" Bisik Raxel sebelum berbalik menghadap si wanita tua, "Malam Nenek Jen! Aku kemari membawa seseorang. Bisakah Nenek memberikannya kamar?" Dia memasang tampang super ceria, mencondongkan badan ke arah sang Nenek dan menebar banyak senyuman. Jika aku tidak mengetahui sikap menyebalkan serta identitas asli Raxel, mungkin aku berpikir dia pemuda bodoh yang kebetulan cucu pemilik penginapan suram ini.
"Wah, wah! Raxel manisku kembali cepat. Di mana Ren? Bukannya kalian bakalan pulang bersama? Aih padahal Nenek sudah membuatkan sup kesukaan Ren." Nenek menangkupkan tangannya ke pipi, bibirnya membentuk lengkungan turun. Ketiadaan Ren ternyata cukup berdampak pada suasana hatinya. Er siapapula Ren!
"Eeh Ren ada pekerjaan. Mungkin tengah malam nanti pulang sebelum penginapan tutup. Apa Nenek sanggup menunggunya?" Raxel kelihatan khawatir. Entah hanya sandiwara atau kenyataan tapi setiap gerak-geriknya seolah mengandung ketulusan.
"Hahaha Nenek ini masih sangat kuat. Tentu akan menunggu Ren datang, mubazir kan kalau makanan dibuang. Biar nanti Nenek urus dia. Oh ini kamar untuk gadis muda itu. Apa dia istrimu Raxel?" Kini mata sang Nenek memaku padaku yang sejak tadi terdiam bak patung peringatan. Ia tidak melayangkan pandangan menilai, hanya memberikan senyuman hangat sebagai ucapan selamat datang.
"Aku bukan istri Sir Raxel. Aku ... "
"Dia adik Ren. Namanya Liz." Sergah Raxel tanpa membiarkanku menyelesaikan kalimat. Aku terusik dengan kebohongan dari mulutnya. Sejak kapan orang bernama Ren adalah Kakakku. Sampai akhir hayat hanya ketiga saudaraku yang aku akui sebagai kakak maupun adik.
"Ah begitu! Pasti rambut kalian sama-sama berwarna kelabu indah. Kenapa tidak melepas tudungmu anak manis?"
Aku benar-benar ingin menendang lutut Raxel. Lihatlah karena kebohongannya, kami terperangkap dalam situasi kurang menguntungkan. Rambutku bisa sangat mencolok. Rasa syukur mendapati lampu temaram penginapan yang menyembunyikan warna rambutku lebih baik sebentar lagi sirna. Dalang kegentingan situasi kami sekarang adalah lelaki nyentrik yang entah bagaimana bisa menjadi raja di kerajaan kuat seperti Dratagnan!
"Liz sangat pemalu kalau Ren tidak ada, Nek. Kami duluan. Selamat malam Nenek!" Buru-buru Raxel pergi sembari menarik tanganku. Mungkin dia menyadari hawa panas yang berasal dari kekuatanku. Hah! Siapa suruh dia bertindak irasional.
"Kau — "
"Sst diam, bicaranya nanti saja. Di sini masih kurang aman." Suaranya pelan sekali sampai-sampai membutuhkan waktu untuk mencerna setiap vokal yang keluar dari mulutnya.
Sewaktu kami mencapai kamar peristirahatanku, Raxel menoleh kesana dan kemari untuk memastikan tidak ada orang menguping. Dia bisa jadi memaksa masuk ke dalam kamarku, tapi Raxel masih bisa berlagak gentleman ternyata. Dia menghembuskan napas panjang.
"Ren itu nama panggilan Anakin. Kami datang untuk menjemput Chaiden diam-diam dan meyakinkan Raja Arthurian, tapi malah jadi malapetaka. Si Anakin bodoh itu bersikeras menyelamatkan keluarga kerajaan yang terakhir atas nama Chaiden. Alasanku berbohong tadi agar Nenek Jen tidak mempeributkan masalah ini. Dia terlalu senang melihatku pergi bersama wanita." Raxel setengah meradang. Aku ingin sekali tertawa namun situasinya kurang mendukung.
"Kenapa kau menceritakannya?" Aku lebih memilih mengerutkan kening.