~Selain sulit mengingat kebaikan orang lain terkadang manusia mudah membenci seseorang berdasar "katanya" alias perspektif belaka~
~Althia Yara~
Silau terik mentari memantul dari beningnya air kolam. Suara kecipak air dan gelak tawa mendominasi tempat itu. Keadaan kolam renang nampak sepi, karena tentu saja ini hari Senin. Kolam renang akan padat jika akhir pekan seperti Sabtu dan Minggu, seluruh pengunjung saat ini adalah rombongan anak SMA Dirgantara yang tengah melakukan praktik berenang.
Golongan lelaki kelas X Mipa 3 sedang melangsungkan penilaian, sedangkan golongan perempuan ramai bersorak-sorai menyemangati satu persatu dari mereka menyebrangi kolam dengan gaya katak. Pak Subandi dengan cekatan mencatat nilai praktek anak didiknya. Suara peluit Pak Subandi mengakhiri penilaian renang golongan lelaki. Kini giliran golongan perempuan yang akan bertaruh nilai di sini.
Entah mengapa napas kaum perempuan tidak bisa selanggeng kaum lelaki saat berenang. Akibatnya banyak yang gagal menuju ke ujung akibat kehabisan napas.
"Kalian enggak saya suruh tahan napas di air, gunakan kesempatan ketika kepala kalian di atas untuk menghirup oksigen," saran Pak Subandi gemas dengan murid perempuan karena nilai mereka belum bisa menyentuh angka delapan.
Di saat yang lain berada di dalam air, gadis bersurai cokelat gelap dengan wajah tirus serta sorot mata yang cukup tajam bagi perempuan itu tengah duduk sembari memeluk lututnya di atas starting blok. Surai cokelatnya yang lurus menjadi gimbal karena terkena air kolam renang, badan gadis itu sudah mulai mengering karena terik matahari dan juga panas tubuhnya.
Manik mata gadis itu menatap harap teman-teman satu kelasnya. Sebelum penilaian renang dilakukan, Pak Subandi menyuruh mereka agar berlatih terlebih dahulu dan otomatis semua murid perempuan meminta agar gadis itu mau mengajari mereka. Dengan telaten gadis itu mencontohkan serta membantu teman satu kelasnya itu berenang dengan gaya sesuai instruksi.
"Ah! Susah!" keluh salah satu dari mereka, "lo sengaja bikin gerakan ini jadi susah. Terus lo sendiri yang nilainya paling tinggi!"
Gadis itu menghela napasnya. "Lo bakal bisa karena terbiasa." Ia mencoba untuk tersenyum. Menjelaskan lebih rinci pun akan terasa percuma karena pasti Dia telah menutup kedua telinganya.
Hal seperti ini sudah sering terjadi padanya. Pernah pada saat penilaian lari estafet, ia berlari dari post empat menuju finish sekuat tenaga, mengerahkan sisa-sisa energi untuk memenangkan kelompoknya agar mendapatkan nilai yang lebih tinggi. Namun, hal itu malah membuat kelompoknya murka. Bukannya ikut bergembira karena ia berhasil membuat kelompok mendapatkan nilai di atas delapan. Malah ia dicaci maki dan dituding curang saat berlari.
"Lo sengaja, kan? Milih jadi pelari nomor empat, biar bisa dapet nilai paling tinggi!"
"Eka ..." Suaranya tertahan, "kayaknya lo salah paham, deh." Bisa saja ia menyemprot Eka dengan kata-kata pedas. Namun, selalu ia urungkan. Citranya di kelas sudah cukup buruk ia tak mahu sampai dipanggil BK hanya karena badwords.
Eka mengibaskan rambut, memainkan kuku berlapis kutek warna merah menyala. "Dasar makhluk ambis!" Ingin rasanya melempar kaca agar siswi di hadapannya tersadar.
Terkadang manusia berbicara tanpa melihat apa yang ia lakukan. Alias enggak ngaca!
"Althia Yara!" panggil Pak Subandi yang sukses membuat gadis itu terhenyak dari lamunan. Althia Yara, gadis yang disegani oleh para lelaki karena kemampuannya dalam bela diri dan olahraga, paras judes yang selalu menempel pada Yara membuat murid lelaki bertekuk lutut dalam sekali pandang. Berbeda dengan statusnya di kelompok perempuan. Banyak siswi yang menge-cap Yara sebagai siswi angkuh hanya untuk memikat kakak kelas.
Semua itu berawal dari kejadian MOS. Tak disangka Devano, wakil ketua OSIS SMA Dirgantara menyatakan cintanya kepada Yara di depan podium. Mungkin karena itulah para murid perempuan memandang Yara sebagai cewek caper. Terkadang manusia mudah membenci sesuatu yang mereka saja belum mengenal betul. Terhasut oleh provokator yang menginginkan agar dirinya dibenci.
Selama ini, Yara telah bolak-balik ke ruangan BK sebanyak sepuluh kali akibat melayangkan bogeman mentah ke arah siswi-siswi yang menggunjing dirinya. Pak Bayu menyarankan agar Yara mengendalikan emosi agar tidak menimbulkan perseteruan antar pihak sekolah dan wali murid.
"Oh, jadi di sini Pak Bayu membela si pelaku?" sinis Yara.