Dunia akan jauh menyenangkan jika manusia lebih berpikiran terbuka.
~Althia Yara~
.
.
.
Sekarang jam dua siang, seharusnya Bu Indri selaku guru biologi sudah memasuki kelas sejak tiga puluh menit yang lalu. Namun, beliau belum juga menunjukkan batang hidungnya.
Kesempatan emas anak-anak untuk bersantai sejenak dari letihnya belajar dan menulis catatan. Semua bergerumun sesuai frekuensi masing-masing.
Ada si anak pintar yang sekarang berada di perpustakaan, ada anak beauty blogger sedang menjajal produk kosmetik baru dan banyak lagi kerumunan yang hobi bergosip. Seperti halnya mereka, kini Yara tengah menatap sebuah layar laptop di sana masih Erna menyetel film horor paling terkenal yang sudah lama dirilis, film itu mengisahkan sesosok hantu biarawati yang berwajah mengerikan, cukup mengerikan sehingga membuat Erna mengumpet di belakang tubuhnya selama film diputar, tak peduli hantunya keluar atau tidak.
"Kya!" jeritnya, ia menggegam erat seragam kotak-kotak Yara. "Ini film kok bikin jantungan," celetuk Erna, Yara memberontak, meminta agar Erna tak membuatnya sesak.
"Kalau bikin orang klepek-klepek namanya drama!"
Langit di luar kelas nampak murung, kelebihan muatan air sebentar lagi mereka akan memuntahkan isi muatannya ke daratan.
Kanza datang ke kelas Erna dan Yara dengan langkah bersungut-sungut, dibelakangnya diekori oleh Ersya. Kanza meletakan kotak bekal berisi salad ke meja dengan sedikit melempar.
"Gue ga terima!" Ia duduk dengan jengkel, membuka kasar tutup bekal dan mengaduk-aduk asal isi salad.
"Bilang aja lo kalah cakep dari mereka!"
"Plastik, huuu!"
"Seneng sama oppa-oppa kresek!"
"Cowok banci! Dah make up, joged lagi!"
Sekarang Yara dan Erna paham sumber dari kekesalan sahabatnya ini. Tak lain dan tak bukan adalah ucapan pembenci yang diucapkan para lelaki di kelas sepuluh Mipa dua.
"Terus gue harus sukanya sama lo yang dakian gitu? Ogah!"
"Woi! Mereka tuh sayang sama muka mereka! Skincare! Lha lo! Muka aja ga dijaga, pantes tu mulut lemes!"
"Mereka itu cari fulus! Ga kayak lo semua yang hobby-nya cuma ngehujat mulu!"
Kanza berkoar-koar layaknya seorang pedagang perabot yang sering mampir ke komplek rumah Yara, mungkin sepuluh kali lebih lantang.
"Ga usah dilayani kali Kan, udah sering, kan?" tegur Yara, "gue cuma takut pita suara lo abis sebelum latihan cherleader."
Kini linangan air mata mulai terbentuk di pelupuk. "Tapi gue kesel, yakali Kim Seokjin dikata oplas. Padahal mukanya udah visual dari orok!" Mereka berempat bungkam, bingung harus mengatakan apa.
"Kalau gue lebih kesel sama ucapan mereka yang seakan mengatakan kalau cowok itu ga boleh make up dan menari." Yara memperbaiki posisi duduknya agar nyaman, menghadap ketiga sahabatnya.
"Padahal ga ada yang mengategorikan kalau make up cuma bisa digunakan buat cewek, ga ada yang mengategorikan kalau nari cuma buat cewek. Semua itu cuma penilaian sebelah mata, mereka berpikiran seperti itu karena dari awal mereka lahir di lingkungan prespektif seperti itu. Karena itu manusia susah buat jadi diri sendiri. Terkekang oleh standar masyarakat soal aturan-aturan yang enggak pasti asal muasalnya. Menurut gue cowok pakai make up sah-sah aja tuh, asal enggak berlebihan. Kalau soal profesi kan semua orang punya bakat di bidang masing-masing, kita kan ga bisa maksain orang yang jago nari buat jadi akutansi, kan?" Jemari Yara bergerak mematikan laptop. Kemudian menyedot susu cokelat kemasan.
Kini giliran Erna yang berbicara, "Kalau idol lo di hina anggap aja itu suara kicauan burung. Nge-fans sama idol lain itu wajar, kok yang enggak wajar itu pemikiran mereka yang terlalu dipaksakan. Padahal Indonesia dengan Korea Selatan itu beda, jauh kebudayaannya. Sudah pasti aturan, adatnya juga beda." Kanza mulai melunak, kini ia berseri-seri, sejurus kemudian ia mengetuk kepala. "Gue balik dulu, ga lama, jangan tinggalin gue. Okey!" Kanza berlari sekencang kilat menuju kelasnya dan pulang dengan sekotak salad buah saus mayonaise, menyerahkan pada Yara.
"Buat lo."
"Buat gue mana?" tagih Erna dengan nada memelas, Ersya membisikan sesuatu yang membuat Erna menarik kata-katanya.
"Mau?" tawar Yara, Erna mengibaskan tangannya. "Ga usah." Yara menyendok beberapa potongan buah melon, anggur dan strawberry beserta saus berwarna putih itu, memasukkan ke dalam mulut dan membiarkan lidahnya mengecap serta giginya mengunyah. "Enak."