Origin

Mizan Publishing
Chapter #2

Bab 1

Profesor Robert Langdon mendongak memandang patung anjing duduk setinggi dua belas meter di plaza. Bulu hewan itu berupa hamparan hidup rerumputan dan bunga-bunga harum.

Aku berupaya mencintaimu, pikirnya. Sungguh.

Langdon merenungi patung itu sedikit lebih lama, lalu melanjutkan perjalanan menyusuri rampa yang ditata menggantung, menuruni terastangga luas dengan anak-anak tangga tidak rata yang dimaksudkan untuk mengejutkan pengunjung dari irama dan langkah biasa mereka. Misi tercapai, pikir Langdon memutuskan, setelah hampir tersandung dua kali di anak-anak tangga tidak beraturan itu.

Di dasar tangga, Langdon berhenti mendadak, menatap patung raksasa lain yang menjulang di hadapannya.

Kini aku telah menyaksikan segalanya.

Seekor laba-laba hitam raksasa, dengan kaki-kaki besi ramping menyokong tubuh membulat yang melayang setidaknya sembilan meter di udara.

Di perut bawah laba-laba itu, menggantung kantong telur dari kawat jala yang dipenuhi bola-bola kaca.

“Namanya Maman,” kata sebuah suara.

Langdon menundukkan pandang dan melihat seorang lelaki ramping berdiri di bawah laba-laba itu. Dia mengenakan sherwani2 brokat hitam dan berkumis melengkung Salvador Dalí yang nyaris menggelikan.

“Nama saya Fernando,” lanjut lelaki itu, “dan saya berada di sini untuk menyambut Anda di museum.” Dia meneliti sekumpulan label nama di atas meja di hadapannya. “Boleh saya tahu nama Anda?”

“Tentu saja. Robert Langdon.”

Lelaki itu mendongak dan menatap Langdon. “Ah, saya benar-benar minta maaf! Saya tidak mengenali Anda, Pak!”

Aku pun nyaris tidak mengenali diriku sendiri, pikir Langdon sambil melangkah maju dengan kaku dalam setelan jas hitam berekor, rompi

2. Mantel pria khas India.

putih, dan dasi kupu-kupu putih. Aku tampak seperti anggota grup akapela Whiffenpoof. Jas berekor klasik yang dikenakan Langdon sudah berusia hampir tiga puluh tahun, peninggalan hari-harinya sebagai anggota Ivy Club di Princeton. Namun, berkat latihan renang hariannya secara rutin, pakaian itu masih cukup pas di tubuhnya. Dalam ketergesa-gesaan ketika berkemas, dia keliru meraih kantong jas yang menggantung di lemari pakaian, meninggalkan tuksedo yang biasa dikenakannya.

“Undangannya menyatakan black and white,” jelas Langdon.“Kurasa jas berekor sesuai?”

“Jas berekor tak pernah ketinggalan zaman! Anda tampak luar biasa!” Lelaki itu bergegas mendekat dan dengan cermat menempelkan label nama pada kelepak kerah jas Langdon.

“Merupakan kehormatan bertemu dengan Anda, Pak,” kata lelaki berkumis itu. “Anda pasti pernah berkunjung kemari?”

Lewat kaki-kaki laba-laba itu, Langdon memandang bangunan berkilau di hadapan mereka. “Sesungguhnya aku merasa malu mengatakan bahwa aku belum pernah kemari.”

“Benarkah?” Lelaki itu berpura-pura terhuyung ke belakang. “Anda bukan penggemar seni modern?”

Langdon selalu menikmati tantangan seni modern—terutama penjelajahan mengenai mengapa karya tertentu dianggap sebagai mahakarya: lukisan tetes Jackson Pollock; kaleng-kaleng Campbell’s Soup Andy Warhol; persegi panjang warna-warni sederhana Mark Rothko.Walaupun begitu, Langdon jauh lebih nyaman membahas simbolisme keagamaan Hieronymus Bosch atau sapuan cat Francisco de Goya.

“Aku cenderung pengikut seni klasik,” jawab Langdon.“Aku lebih memahami da Vinci daripada de Kooning.”

“Tapi da Vinci dan de Kooning sangat serupa!”

Lihat selengkapnya