Origin

Mizan Publishing
Chapter #3

Bab 2

Laksamana angkatan laut Luis Ávila duduk di kursi bar dalam pub sepi di sebuah kota tak dikenal. Dia lelah akibat perjalanannya, baru saja terbang ke kota ini setelah pekerjaan yang membawanya ribuan kilometer dalam waktu dua belas jam. Dia menyesap air tonik keduanya

dan menatap susunan botol warna-warni di balik bar.

Siapa pun bisa menahan untuk tidak minum alkohol di padang gurun, pikirnya, tetapi hanya lelaki teguh yang bisa duduk di sebuah oase dan menolak meminumnya.

Sudah hampir setahun Ávila menghindari alkohol. Ketika mengamati pantulannya di cermin bar, dia membiarkan dirinya menikmati momen langka kepuasan terhadap bayangan yang balik menatapnya.

Ávila tergolong kaum lelaki Mediterania yang beruntung karena proses penuaan seakan-akan cenderung menjadi aset daripada beban. Setelah bertahun-tahun, cambang hitam kakunya melembut menjadi jenggot bercampur uban yang mengesankan, mata gelap garangnya telah melunak hingga memancarkan kepercayaan diri dan ketenangan, kulit zaitun kencangnya kini berubah keriput dan terbakar matahari, memberinya aura seorang lelaki yang terus-menerus menyipitkan mata memandang lautan.

Bahkan di usia 63 tahun, tubuhnya ramping dan berotot, perawakannya yang mengesankan semakin ditingkatkan oleh seragamnya yang dijahit khusus. Saat itu Ávila mengenakan setelan putih lengkap angkatan laut— seragam gagah yang terdiri atas jas putih berkancing ganda, epolet hitam lebar, serangkaian tanda jasa yang prestisius, kemeja putih kaku berkerah tegak, dan celana panjang putih sutra tersetrika rapi.

Mungkin Armada Spanyol bukan lagi angkatan laut paling digdaya di dunia, tetapi kami masih tahu cara mendandani seorang perwira.

Sudah bertahun-tahun Laksamana Ávila tidak mengenakan seragam ini—tetapi ini adalah malam istimewa, dan tadi, ketika menyusuri jalanan kota tak dikenal ini, dia menikmati pandangan terkesan kaum perempuan dan juga sikap segan yang ditunjukkan kaum lelaki.

Semua orang menghormati mereka yang hidup berdasarkan peraturan.

¿Otra tónica?”3 tanya pramusaji bar yang cantik. Perempuan itu berusia 30-an, bertubuh montok dengan senyum menggoda.

Ávila menggeleng. “No, gracias.”4

Pub ini benar-benar sepi, dan Ávila bisa merasakan mata pramusaji bar mengaguminya. Rasanya menyenangkan bisa dilihat orang lagi. Aku telah keluar dari jurang.

Peristiwa mengerikan yang meluluhlantakkan hidup Ávila lima tahun silam akan selamanya bermukim dalam ceruk-ceruk pikirannya—momen sekejap yang memekakkan ketika bumi terbelah dan menelan dirinya seutuhnya.

Katedral Sevilla.

Pagi Paskah.

Matahari Andalusia menyorot masuk lewat kaca patri, memercikkan kaleidoskop warna dalam pendar-pendar ceria ke seluruh interior batu katedral itu. Orgel membahana dalam selebrasi riang ketika ribuan jemaat merayakan keajaiban kebangkitan-kembali.

Ávila berlutut di balik pagar Komuni, hatinya dipenuhi rasa syukur. Setelah bertugas seumur hidup di lautan, dia diberkahi anugerah Tuhan yang terindah—keluarga. Dia tersenyum lebar, menoleh ke belakang memandang istrinya yang masih muda, María, yang tetap duduk di bangku gereja; kehamilan menghalangi perempuan itu untuk berjalan jauh menyusuri lorong gereja. Di samping María, putra mereka yang berusia 3 tahun, Pepe, melambaikan tangan dengan riang kepada ayahnya. Ávila mengedipkan sebelah mata kepada bocah itu, dan María tersenyum hangat kepada suaminya.

Terima kasih, Tuhan, batin Ávila ketika dia kembali menghadap pagar untuk menerima cawan.

Sekejap kemudian, ledakan memekakkan mengoyak katedral suci itu.

Dalam satu kilatan cahaya, seluruh dunia Ávila meledak terbakar.

Gelombang ledakan itu mendorongnya dengan dahsyat ke dalam pagar Komuni, tubuhnya dilanda gelombang panas puing-puing dan bagianbagian tubuh manusia. Ketika kesadarannya pulih, Ávila tidak mampu bernapas dalam asap tebal itu, dan sejenak dia tidak tahu dirinya berada di mana atau apa yang terjadi.

Lalu, di antara denging di telinganya, dia mendengar jeritan-jeritan pilu. Ávila bangkit berdiri, menyadari dengan ngeri di mana dirinya berada. Dia mengatakan kepada diri sendiri bahwa semuanya ini hanyalah mimpi

3 “Tambah toniknya?”

4 “Tidak, terima kasih.”

buruk. Dia terhuyung di dalam katedral yang dipenuhi asap, melangkahi korban-korban yang merintih dan termutilasi, tersaruk-saruk putus asa menuju area tempat istri dan putranya tersenyum beberapa saat yang lalu.

Tak ada sesuatu pun di sana.

Tidak ada bangku-bangku gereja. Tidak ada orang.

Hanya puing-puing berdarah di lantai batu gosong.

Lihat selengkapnya