"Tentu saja, jangan berlama-lama ya, kami akan menunggu!" Leon dan Grace berdiri lalu menyerbu Orion dan ibu mereka yang masih asyik di depan piano, "Ma, sesekali Mama yang bermain piano dan kami mendengarkan! Seperti dulu biasa Mama lakukan! Ayo, Ma!" pinta keduanya mendesak, "Setelah itu kami juga akan bermain piano, menunjukkan apa yang selama ini kami pelajari!"
"Oh, baiklah! Mama sudah lama sekali tak bermain piano, mungkin akan terdengar sedikit kaku atau bahkan salah-salah! Namun akan Mama buktikan jika Mama masih bisa bermain piano seperti waktu Mama masih seumur dirimu, Leon!"
Orion berdiri, memberikan keluarga itu waktu bertiga bersama-sama.
Sementara itu Maharani masih berada di kamar mandi wanita yang sangat besar dan mewah, jauh lebih baik daripada kamar mandinya sendiri di Viabata dulu. Di sini tak ada yang namanya gayung dan ember, apalagi sikat dan sabun colek. Tembok dan lantai terbuat dari pualam plus lapisan karpet khusus. Bath tub berukuran besar, shower air hangat serta interior bernuansa retro klasik. Sabun cair yang ada sangat wangi, mewah bagaikan parfum. Maharani merasa seperti berada di alam mimpi.
Belum lagi begitu ia keluar. Malam pertama di kediaman Delucas tampaknya begitu cerah, indah dan syahdu. Sedari tadi Rani ingin sekali keluar menuju ke balkon, di mana dari sana ia bisa melihat pemandangan indah taman bunga dan hamparan perbukitan serta lampu-lampu kecil Chestertown.
"Selamat malam, Nona Maharani!"
Suara itu... O-o-orion?
"Oh, ha-ha-hai, selamat malam, Tuan Delucas," Maharani tergagap menyadari sosok yang tetiba hadir di belakangnya dan kini berdampingan dengannya. Pemuda Everopa itu mengenakan stelan jas semi formal yang tampak elegan namun nyaman dikenakan. Sangat pantas di tubuhnya yang langsing, tinggi, ideal dan atletis. Rambutnya cokelat sedikit gondrong hampir menyentuh bahu. Maharani tampak agak mungil di sisinya. Pemuda itu bertumpu pada pagar beranda, menatap lawan bicaranya dengan pandangan hangat. Tidak terkesan genit apalagi penuh nafsu, hanya ramah atau bersahabat. Atau mungkin lebih dari itu? Demikian sempat terlintas di benak Maharani.
"Akhirnya kita bisa bertemu berdua saja, Nona Maharani. Jangan memanggilku Tuan Delucas. Sebenarnya aku bukan tuan besar dalam keluarga ini. Panggil saja aku dengan nama kecilku, Orion."
Suara pemuda itu begitu merdu didengar, senyumnya juga begitu manis, bibir lembut berpadu deretan gigi putih bersih terawat. Hidungnya mancung, matanya sedikit sipit dengan bola mata berwarna cokelat dan alis tebal lurus panjang. Maharani merona, ia tak pernah memperhatikan wajah lawan jenis sedetail ini. Buru-buru memalingkan wajah, kembali menatap pemandangan malam yang indah.
"Oh, baiklah, Orion. Maaf, aku belum terbiasa. Aku diajar keluarga besarku untuk selalu hormat kepada orang lain, terutama atasan atau majikanku, seperti Anda. Aku juga, Anda bisa memanggilku Rani."
Orion seperti ingin tertawa dan mengatakan sesuatu kepada gadis itu, namun dengan susah payah akhirnya berhasil menahannya, "Uh, baiklah, Rani, nama yang sangat indah, aku sangat mengagumi ketulusan Anda. Kudengar keluarga Bangsa Evernesia sangat meninggikan adat sopan santun, ramah tamah, bekerja sama dan toleransi, bukankah begitu?"