Pipi Maharani memanas. Ia belum pernah dipuji seperti itu, bahkan oleh pria seumuran yang dulu-dulu menyukainya dan ingin mendekatinya. Gebetan, teman akrab, atau siapapun yang dulu cukup dekat dengannya di bangku sekolah maupun kuliah di Evernesia sering mendekati, menelepon, mengirim pesan, melayangkan rayuan gombal. Namun ia tak pernah menanggapi, setidaknya karena ia tak berminat kepada mereka. Semua ia tolak, perlahan mereka menjauh. Tak ada yang ia akrabi hingga akhirnya lawan jenis pergi sendiri. Rata-rata kecewa maupun patah hati. Rani merasa belum berjumpa sosok yang tepat. Bukan karena ia terlalu pemilih, melainkan karena belum ingin saja. Mengapa harus memaksakan diri? Aku berhak mendapatkan seseorang yang terbaik - demikian Rani pernah berpikir. Jadi hidup ia jalani seringan-ringannya. Pergaulannya luas, ia cukup supel dan membuka hati, akan tetapi tak satupun pria Evernesia berhasil menjadi pasangannya. Tak peduli bagaimanapun mereka berusaha memuji, mendekati, memberi hadiah, Maharani menolak lembut sambil menggeleng manis, berkata maaf, aku hanya menganggap dirimu sebagai teman. Lebih dari itu? Tidak, belum ingin. Rani juga tak menganggap dirinya cantik. Ia berpenampilan alami, malah lebih sering tampil tanpa kosmetik. Bagaimana mungkin bisa ada yang suka kepadaku secara tulus?
Namun di negeri yang jauh ini, Rani merasakan hal yang jauh berbeda. Dipuji oleh pemuda tampan yang belum lama ia kenal membuatnya ingin terbang melayang bagaikan daun-daun musim gugur yang masih sangat indah bertaburan di perbukitan Chestertown. Yang satu ini berbeda. Rasanya begitu indah sekaligus begitu memilukan.
"Duh, terima kasih. Thank you very much. Actually, I never feel that beautiful, I'm just an ordinary girl. Aku belum pernah punya pacar, tak ada yang berminat denganku, walau di negeriku pada usia ini sangat banyak yang sudah mengikatkan diri dengan seorang lawan jenis. Jika ada yang suka, sebaliknya ku juga terlalu pemilih. Aku tak tahu apakah aku layak untuk mengatakan aku cantik dan pantas untuk seseorang. Duh, maafkan kecerewetan dan curahan hatiku ini. Aku tak seharusnya bicara sepanjang ini! I'm just an ugly duckling."
"Jangan merendah, you really do. And you're a very kind young lady as well. Sayang sekali, aku terlambat berjumpa denganmu dan terlanjur menerima begitu saja permintaan ibuku untuk..." nada suara Orion berubah saat mengucapkan kalimat terakhirnya, "ya, kau tahu, takdir kadang mempertemukan dua orang manusia pada saat yang tidak tepat." Bersama kalimatnya Orion kembali saling menatap dengan Maharani. Pertemuan pandangan mereka selalu menimbulkan desir hangat di punggung gadis itu. Mata sipit cokelat di bawah alis tebal nan rapi, lekuk dalam yang menggoda di antara hidung mancung khas Everopa. Orion bukan hanya begitu mirip dengan seorang aktor ternama. Maharani tak bisa melepaskan pandangnya begitu saja.
"What do you mean?" akhirnya gadis itu berhasil memecah kesunyian, "saat apa yang kau sebut tidak tepat?"