"What do you mean, Maharani? Mengapa tiba-tiba kau berpikir dan berkata seperti itu? No, you're definitely not that kind of bad person! Sebaliknya, bisa jadi kau adalah seseorang yang Tuhan kirimkan untuk kami, mungkin juga seorang malaikat penyelamat! Kita sepertinya memang 'bersalah' dalam hal ini, namun kau tak bisa sepenuhnya menyalahkan diri. Semua ini terjadi di luar kuasa dan kehendak kita!"
"Tetap saja, di sini aku masih merasa seperti pembawa ketidakberuntungan. However, I must admit, I really feel lucky to meet you, Orion. Thanks. I don't know why. Aku hanya bersyukur saja atas pertemuan kita, walau kita belum bisa terlalu..." Kalimat Rani tergantung di udara.
"Sesungguhnya di sini pun aku ingin sekali bisa mencium dan memelukmu lagi," Orion masih tersenyum, susah payah berusaha untuk tak mengalihkan pandangan dari jalan raya, "sayang, di belakang mobil ini, dari dalam bus, semua mata rombongan staf Delucas tentunya bisa mengawasi kita. Kita sekarang harus pintar diam-diam saja dan berpura-pura seperti tak terjadi apa-apa. Sepertinya sulit betul menahan diri saat kita sedang jatuh cinta. Tapi akuilah, ini cukup seru, bukan?"
"Uh, I never feel like this before. It's so awkward. But I kind of enjoy it. Ya, aku merasa sangat aneh hari ini, tak pernah terpikirkan olehku hari ini aku bisa menerima cinta seseorang! Aku merasa sedikit lebih dewasa dan berani." Rani terkikih, merasa seperti seorang gadis kecil yang diam-diam melanggar titah, memendam sebuah rahasia terlarang dari kedua orang tuanya.
Orion ikut senang mendengar tawa itu, "Ya, kau harus gembira. You just have to laugh more, Rani. I really like to listen to your sweet, tender voice."
"Me too. I love your deep male voice. I really do," aku Rani malu-malu, "maaf, pujianku ini terdengar sangat gombal, ya? Jujur saja, aku masih sangat polos dan baru dalam hal ini. Termasuk tadi saat kita berciuman, uh... diriku sungguh memalukan dan tak berpengalaman! Aku tak pernah punya pacar. Never fall so deep in love. Aku sering jatuh cinta tapi tak pernah berani berkata-kata hingga hilang begitu saja. Mereka yang mungkin suka kepadaku tidak pernah kusukai juga. Aku tak ingin memaksakan hubungan jika aku tak siap dan tak mau. Perasaan yang timbal balik sangat penting bagiku." Wajah Rani perlahan merona.
"Thanks. Really? Kau belum pernah pacaran? I don't believe it! Masih sangat polos, dan jangan-jangan... kau juga masih seorang perawan? Oh, betapa beruntungnya diriku!" Orion tambah bersemangat menggoda kekasih barunya hingga pipi Rani bertambah merah saja!
"Duh, Orion, kok tiba-tiba kau membicarakan itu, pacaran saja belum, jadi sungguh aku belum... Please, don't flirt me like that! Kau sungguh berani sekali, that's so naughty of you!" Tawa Rani hampir meledak, "Jangan membuatku membayangkan bagaimana rasanya berada berdua di atas satu ranjang atau sebagainya! Aku belum berpikir sejauh itu!"
Orion tambah bersemangat, "I think I have to find out soon by myself! Are you ready?"