Orion X Onion

Orion Lumira
Chapter #14

Menikah

Menikah adalah hal yang tak pernah ada dalam daftar cita citaku, maka, aku tak pernah berminat untuk membicarakannya. Tapi, belakangan ini, aku mendengar topik itu dimana mana.

Biasanya, topik topik yang diluar dari kesukaanku, akan dengan mudah melintas dari kuping kanan ke kuping kiri; terkecuali satu topik ini: Menikah. Berapa kalipun aku mencoba menghindar, ada saja kejadian maupun orang yg memaksaku untuk memikirkannya.

Mama adalah orang pertama yang membuatku membahas pernikahan, pertama kali dalam hidupku, di usiaku yang ke-15. Sebagai anaknya, Aku paham betul, pernikahan Mama adalah sesuatu yang jauh dari kisah kisah romantis negeri dongeng, tapi Mama dan Papa terus bersama, seberapapun sulitnya hubungan mereka saat itu.

Aku sendiri pernah berpikir bahwa hidup mereka akan lebih bahagia jika keduanya berpisah. Tapi, perpisahan itu tidak pernah terjadi. Mungkin mereka memang sudah terbiasa untuk saling mengorbankan perasaannya masing masing, hingga merasa terlalu egois bila harus mengejar kebahagiaan diri sendiri. Atau, mereka memang bahagia, meski aku tak pernah melihat dengan jelas tanda tandanya pada raut wajah mereka.

Mama bilang, aku harus punya cita cita yg besar. Papa bilang, aku punya sesuatu yang mungkin banyak orang butuhkan. Sejak kecil, mereka mendidikku agar berpikir melampaui kebutuhan diriku sendiri.

"Ada banyak orang susah yang memerlukan bantuanmu, suatu saat nanti", begitu kata Papa.

Dan sebelum sampai ke sana, aku harus belajar dengan giat, agar mendapatkan pekerjaan baik, hingga bisa memberikan banyak manfaat kepada sesama.

Mama bilang, salah satu syarat mendapatkan pekerjaan, pada masa masa itu, adalah status lajang. Susah sekali mendapatkan pekerjaan bila sudah menikah. Begitulah kiranya petuah Mama yang Ia berikan ketika aku masih berseragam putih biru. Sejak saat itu, Aku tak pernah memasukkan pernikahan sebagai tujuan hidup, dan tentu saja setiap topik yang membahas itu, akan aku lewati atau terpaksa kusimak tanpa perhatian penuh.

***

Aku sudah terbiasa untuk mengabaikan topik pernikahan jika sahabatku mulai membahas tentang pernikahan impian mereka, tapi sungguh, suasana kampus belakangan ini membuat telinga dan mataku terus terpapar akan topik pernikahan, setiap kali aku berniat untuk mengabaikannya.

Awalnya, pembahasan tentang pernikahan muncul di kelompok mentoring agama. Meski aku berkuliah di Kampus Teknologi, Pendidikan Agama adalah salah satu mata kuliah yang wajib kami ambil. Sebagai penunjang mata kuliah ini, kami diharuskan hadir dalam kelompok mentoring agama satu kali dalam seminggu.

Dari kelompok mentoring, aku baru mengetahui bahwa menikah adalah bagian dari ibadah sebagai seorang muslim. Kupikir menikah itu hanya pilihan yang boleh untuk tidak diambil, namun sebenar benarnya, kita akan merugi jika memilih untuk tidak menikah. Begitulah yang aku tangkap dari sesi mentoring.

Bagaimanapun, rasanya aku belum layak dan pantas untuk menjalani sebuah pernikahan. Menurutku, pernikahan adalah hadiah bagi hamba-Nya yang pantas; sedangkan aku, jauh sekali dari kata layak. 

Sepertinya, tak sedikit yang berpikir bahwa menikah itu adalah hal yg terlalu istimewa dan terlalu muluk untuk dicita-citakan, karena seperti yang kubilang, akhirnya di dalam kampusku, muncul berbagai poster dan spanduk acara yang membahas tentang pernikahan, dari mulai tentang kewajiban menikah, persiapannya, dan lain lain.

Bagaimana caraku -- dan orang orang lain yang sepemikiran denganku, bisa menyelamatkan diri dari ‘kampanye menikah’ bila setiap sudut favorit di kampus berhias semua informasi tentang pernikahan.

Akupun tak bisa mengelak ketika kakak mentor kelas agama, mengajak seluruh adik mentornya untuk hadir pada seminar tentang bidadari surga. Dari seminar itu, aku mendapati informasi bahwa ternyata para bidadari surga kalah cantik dan kalah kedudukannya daripada seorang istri shalihah. Lagi lagi, sebuah kampanye pernikahan terselubung, batinku.

Diantara semua hal yang paling membuatku heran terkait topik pernikahan, adalah Nio.

Nio adalah teman sekelasku. Nomor induk mahasiswa kami hanya berselang 4 angka, maka kami sering berada dalam kelompok tugas yang sama.

Suatu hari, di sela sela obrolan tentang laporan tugas kelompok, Ia membahas target menikah dan sosok istri idaman. Aku yang lebih peduli dengan hasil kerja masing masing anggota kelompok, sibuk menelusuri baris baris hitungan dalam tabel excel. Sedangkan Mirna dan Naura tampak bersemangat menimpali obrolan pernikahan yang dibuka oleh Nio, karena Nio bilang, ia ingin menikah muda. 

“Serius lo berani nikah muda, yo?” Mirna dan suara bas-nya seakan menantang pernyataan Nio.

“Serius lah. Kan, nikah itu ibadah.” Jawab Nio lugas.

Ini dia, Nio si korban kampanye nikah muda, gumamku dalam hati.

“Sok-sokan lu, nikah muda, pacar aja nggak punya.” sahut Naura dengan cengiran khas-nya.

“Kan yang penting nyiapin diri dulu lah, nanti juga ketemu calon istrinya.” Seloroh Nio sambil membenarkan posisi duduknya. 

“Eh menurut kalian ini udah beres belum sih? Cepetan yok, di-print, biar cepet dikumpulin.” Aku menyela sambil menyodorkan laptop agar semua bisa melihat layarnya. Kuharap ini bisa menghentikan obrolan mereka tentang pernikahan. Aku sungguh sudah jenuh mendengarnya.

“Udah kok, kan emang tinggal di-print. Tapi ngobrol dulu lah, tumben kan si Nio bahas bahas nikah. Jarang deh, cowo mau nikah muda. Jadi agak curiga sih gue, jangan jangan dia udah punya inceran calon istri.” Mirna melirik Nio dengan tatapan jahil.

“Ih bener juga, Mir. Ciyeee Nio! Siapa yo? Kasi tau lahh, mana tau kita kenal, kan gampang bantuinnya, ada 3 orang nih yg siap turun tangan, lo siapin aja traktiran buat kita kita kalo semisal lo jadi nikah sama inceran lo.” Naura merespon dengan penuh semangat. 

Aku melihat Nio menjadi canggung, tapi beberapa detik kemudian kembali pada sosoknya yang kalem dan tenang.

“Tenang, gue bisa sendiri, ntar gue pasti traktir kalian semua lah pas resepsi nikahan.” Nio berdiri dari kursi, lalu melihat jam sambil mengeluarkan handphone dari saku celananya. Khas Nio ketika Ia pikir waktu kerja kelompok usai, dan aku menganggap itu adalah kode bagiku untuk segera mematikan laptop dan berangkat ke kios digital printing terdekat.

Lihat selengkapnya