Bel istirahat memecah gundukan kelabu yang membuatku mengantuk sepanjang pelajaran berlangsung. Akhirnya aku bisa keluar dari ruangan kelas, untuk menghirup sebanyak banyaknya udara segar.
Seperti biasa, Nadya memintaku menemaninya ke kantin, untuk membeli lumpia kesukaannya. Namun, alih-alih menghampiri kios Bu Pujo di kantin, Nadya malah menyeretku ke sudut taman.
“Eh ngapain ke sini? Ngga pesen lumpia?” tanyaku heran.
“Gue pengen cerita, Ri.” Nadya menjawab pelan, lalu menunjukkan telapak tangan kirinya.
Alisku langsung berkerut melihat kondisi telapaknya.
“Itu kenapa?” tanyaku dengan penuh rasa khawatir. Sejujurnya, sejak pagi aku ingin sekali bercerita tentang kejadian jatuh kemarin pada Nadya, tapi ia terlihat tidak ingin banyak bicara denganku. Dan kini, telapak tangan Nadya membuatku lupa pada apa yang terjadi pada diriku sendiri.
“Nilai ulangan Biologi gue, CUMAN delapan, Ri. Padahal udah mati-matian belajar.” Mata Nadya mulai berkaca-kaca.
Aku kembali memperhatikan telapak tangannya yang penuh goresan luka. Rasanya ingin kuhitung sayatan yang ada, tapi, memandanginya saja, sudah cukup membuatku merasa ngilu.
“Terus, Kakak marah?” sambungku pelan.
“Iya.” Air mata Nadya sudah meluncur bebas hingga dagu.
Aku menghela nafas sambil merangkul Nadya.
Ada banyak sekali yang ingin kusampaikan pada Nadya, pada jiwa rapuhnya, tapi aku bingung harus mulai dari mana. Aku sayang sekali pada Nadya, tapi tampaknya ia tidak terlalu sayang pada dirinya sendiri?
“Nad.. itu, pasti sakit..”
“Iya, Ri, sakit. Tapi yang lebih sakit, HATI gue, ketika tau nilai gue CUMAN segitu.
Gue merasa buruk, merasa udah mengecewakan Kakak,