“Ri, ikut gue yuk.” Cika menarik tanganku ke luar kelas.
Bu Nana, guru matematika kami, sedang ijin. Kami hanya diberi tugas sebagai pengganti kegiatan belajar. Aku yang sedang berusaha memahami pertanyaan soal, merasa sedikit lega, sekaligus khawatir. Jika tugas harus dikumpulkan hari ini, aku tidak yakin punya waktu cukup untuk menyelesaikannya.
“Ke mana? Jangan lama-lama Ka, gue belum ngerjain satupun soal.” Tukasku.
Sejujurnya dalam hati aku agak sedikit menyesali kebiasaanku yang tak bisa menolak ajakan teman. Mungkin ini salah satu alasan Nadya dengan sungguh sungguh menobatkanku sebagai sahabatnya, hanya aku yang selalu bisa menemaninya, kapanpun dia membutuhkan teman.
“Tenang aja Ri, Gue tadi denger dari Tomi, Bu Nana minta tugasnya dikumpulin minggu depan. Tapi dia bilang ke anak-anak, tugasnya dikumpulin hari ini, supaya kelas ngga ribut.”
Cika menuruni tangga sambil menggandengku.
Dari jauh, aku pasti terlihat seperti adik kecil di sebelahnya, karena ia adalah murid perempuan paling tinggi di kelasku, sedangkan aku, lagi lagi, ada di batas bawah, bahkan untuk urusan tinggi badan.
Aku mengangguk sambil memperhatikan arah kami berjalan. Cika ternyata membawaku ke kolong tangga. Banyak tumpukan bangku tak terpakai disusun di bawah tangga, dan Cika menarik salah satu yang siap diduduki. Aku mengambil satu lagi kursi untukku sendiri.
“Ri, lo musti dengerin gue baik baik ya.” Cika berbicara agak pelan.
Aku mulai curiga, dan hanya bisa mengangguk menanggapi perkataannya.
“Riri, lo jangan galak dong sama cowo.”
“Hah? Maksudnya?” Keningku mulai berkerut.
“Iya, jangan galak.”
“Galak gimana?” Aku melipat tanganku dan memperjelas raut kebingunganku.
“Coba deh diinget-inget. Lo tuh suka galak tau, tapi ke cowo doang.”
“Ya kalo gue galak, pasti ada sebabnya lah, Ka. Cowo kelas kita pada ngeselin semua!”