Orion X Onion

Orion Lumira
Chapter #11

Kejutan

Aku pikir, diterima di Kampus Teknologi terbaik di Kota tempat tinggalku, adalah kejutan terindah dari Tuhan, yang tak pernah mampu kubayangkan. Saat mengisi pilihan pertama pada formulir seleksi mahasiswa baru, aku merasa apa yang kutulis hanyalah sebuah formalitas. Tak banyak orang yang dapat lolos masuk pada pilihan pertamanya, dan tentu saja sebagai murid rata rata, aku tak berharap banyak.

“Udah, tulis aja Kampus terbaik di pilihan pertamanya, kan nggak apa-apa, yang penting pilihan keduanya tulis pilihan yang kira kira terjangkau.” Papa menyemangatiku ketika melihatku bimbang dan berkali kali menghapus isian pada pilihan pertama formulir pendaftaran.

Sebelum sampai pada momen mengisi formulir, ada banyak perubahan pada diriku. Aku yang semula masih suka membaca komik dan menyewa film dari rental VCD terdekat, sama sekali lupa dengan hobi itu. Semua berkat Nadya sahabatku yang super rajin dan penuh semangat. Kalau bukan karena melihat kesungguhannya belajar, mungkin aku masih lalai dengan segala alasanku.

Nadya berkali kali bilang, otakku yang ‘blank’ ketika ujian, bukan perihal takdir, tapi sesuatu yang harus diusahakan. Setiap orang itu pintar, ujarnya. Namun ibarat pisau, kalau tidak diasah, tentu menjadi tumpul. Nadya juga sering mengajakku belanja buku latihan soal agar otakku berlatih lebih sering.

Awalnya aku malas, untuk apa membeli buku pelajaran dan latihan soal tambahan, padahal semuanya sudah ada dari koperasi sekolah. Tapi Nadya membuka mataku. Buku yang tersedia di sekolah, bukan satu satunya yang perlu kita baca, dan yang terbaik dari semua jenis buku itu, harus kita cari sendiri. Dan ya, aku akhirnya ketagihan mengerjakan soal latihan ujian, ketika sudah menemukan buku latihan yang tepat.

Singkat cerita, namaku tercatat dalam koran sebagai mahasiswa jurusan teknik lingkungan di kampus teknologi terbaik di kotaku, sesuai pilihan pertamaku. Aku tak pernah membayangkan akan ada kejutan yang lebih hebat dari ini, kecuali ketika melihat Devon di lapangan basket siang itu, dan kini, Ia benar benar muncul lagi secara tiba tiba dari belakangku.

“Eh, cepet cepet, masuk. Baru telat 5 menit.” ujarnya panik.

“Nggak berani gue, coba aja lo masuk duluan.” Aku menjawab dengan muka bingung. Karena Dosen sudah mewanti wanti di awal pertemuan, bahwa Ia tidak mentolerir adanya keterlambatan, dan ketika aku melihat pintu kelas sudah tertutup, rasanya kepalaku mendadak buntu.

 Devon membuka pintu kelas dengan perlahan, sambil menengok ke dalam kelas.

“Pintu sudah ditutup, berarti Anda sudah terlambat. Silahkan tutup lagi pintunya dari luar.”

Suara Pak Dosen lantang terdengar dari dalam kelas hingga ke tempatku berdiri di luar pintu kelas. 

Devon segera melaksanakan perintah Pak Dosen, lalu memberikan tatapan pasrah padaku. 

“Turun aja yuk, nggak usah di sini.” Ia berujar pelan sambil menepuk bahuku.

Aku yang masih merasa kecewa dengan diriku sendiri, mengikutinya dengan ragu.

Sepanjang menuruni tangga, Aku sibuk mengutuki diri sendiri yang terlambat bangun, sambil memeriksa ingatan tentang aturan kelulusan di mata kuliah olahraga. Dosen Kalkulus pernah bilang, satu kali saja kami tidak hadir kelas, Ia tidak akan meluluskan kami. Aku khawatir Dosen Mata kuliah Olahraga menerapkan aturan yang sama.

“Lo udah sarapan?” Suara Devon memecah lamunanku.

“Hmm belum sempet.” Jawabku pelan.

“Yaudah, ke kantin aja yok.” Ia segera membelokkan badannya ke arah kantin. Aku mengamati punggungnya dari belakang, dan dalam sepersekian detik membandingkan sosoknya di masa lalu, jauh sebelum kami bertemu lagi di kampus ini.

Devon yang dulu kurus dan kulitnya terbakar matahari, terlihat lebih tegap dengan otot yang sudah terbentuk. Sepertinya ketika SMA dia mengalami perubahan rutinitas, hingga kulitnya yang gelap berubah lebih cerah. Kacamata yg terpasang di batang hidungnya juga terlihat baru. Karena semasa SD dan SMP, Aku tak pernah melihatnya mengenakan kacamata.

“Jalan Gue kecepetan ya?” Devon berhenti sesaat setelah menyadari bahwa Aku berjalan di belakangnya.

“Mm, nggak, nggak apa apa” Aku segera menyusulnya, sambil berusaha menutupi rasa grogi.

Lihat selengkapnya