Bagiku hari Jum’at selalu menjadi hari favorit, karena di hari ini, sekolah selesai lebih awal. Biasanya sepulang sekolah di hari Jum’at, Nadya akan memintaku untuk menemaninya ke taman kota, atau ke toko buku. Kami akan menghabiskan waktu di sana hingga maksimal pukul 15.00, lalu pulang ke rumah masing-masing. Tapi sepertinya hari ini berbeda, karena aku melihat mobil Mama menungguku di seberang gerbang sekolah. Itu artinya aku harus pulang dan tidak bisa pergi bersama Nadya.
“Nad, gue dijemput nih, nggak bisa nemenin lo, nggak apa-apa?”
“Yaah.. padahal gue udah ngidam makan es roti di taman.”
“Sori yah, gue ngga tau kalo Mama jemput. Tumben banget, biasanya pagi-pagi sebelum berangkat sekolah Mama ngasih tau kalo siang mau ngejemput.”
“Yaudah deh, gimana lagi. Gue pulang aja.”
“Eh, atau ikut aja, manatau Mama mau anter kita ke taman dulu, beli es roti?”
“Hmmm. Yaudah tanya dulu aja ke Mama, Gue segen sih, Ri.”
“Ih, pake segen segala. Yuk.” Aku menggenggam tangan Riri untuk menyeberang, lalu menghampiri katana biru tua yang diparkir di bawah pohon.
“Mah.. ko tumben jemput?” Aku memasang muka heran sekaligus protes, yang disambut dengan delikan khas Mama yang dilemparkannya sambil membetulkan poni rambutnya.
“Dijemput bukannya seneng. Eh ada Nadya, apa kabar Nadya?” Muka Mama berubah menjadi ramah seketika menyadari kehadiran Nadya.
“Baik tante.”
“Sini sini, masuk, yuk. Rumah Nadya di daerah Setiabudi kan? Tante kebetulan ke arah situ, tante antar ya?”
“Hah? Mau ke arah setiabudi juga? Emang Mama mau ke mana?” Aku segera membuka pintu belakang untuk Nadya dan mempersilahkannya duduk.
“Maaf ya Nad, kursinya gini, agak keras.”
“Ih nggak apa lah Ri, lebih keras juga angkot.” Nadya segera mengambil posisi duduk di belakang jok yang akan kududuki.
“Mama mau ke Lembang, makannya ngajak kamu.” Giliran Mama membukakan pintu depan untukku dari dalam mobil.
“Ada apa ke Lembang? Perlu buru buru ngga? Kita pengen beli es roti di jalan Merdeka. Boleh ngga, Ma?”
“Muter-muter dong kalo lewat Merdeka dulu, nanti lagi aja ya? Mama udah janji mau jemput temen Mama, terus sama-sama ke Lembang.” Mama mulai menyalakan mesin dan memajukan mobil keluar dari tempat parkirnya.
“Yahh… gimana dong, Nad?”
“Nggak apa apa, Ri. Ini juga makasih Tante, udah mau anterin, jadi ngerepotin.”
“Ah, nggak repot kok, kan sekalian.”
Katana melaju di ruas jalan utama menuju Lembang. Siang itu belum banyak kendaraan memadati lalu lintas, tapi para pelajar sekolah terlihat ramai mengerubungi pedagang kaki lima di sepanjang area sekolah. Beberapa angkutan umum terlihat berhenti menunggu penumpang di seberang gedung sekolah dan perkantoran.
Aku dan Nadya sesekali menanggapi pertanyaan Mama tentang sekolah, tapi selebihnya kami memilih diam. Ada banyak hal yang ingin kubicarakan pada Nadya, tapi tentu tanpa didengar oleh Mama. Mungkin sepulang dari Lembang aku akan menulis semuanya di diary.
Di ruas jalan Setiabudi, Mama membelokkan mobil ke Jalan Sersan Bajuri, lalu berhenti pada salah satu rumah putih berpagar semak hijau. Nadya berterima kasih pada Mama dan berpamitan pada kami. Katana pun berputar arah, kembali ke Jalan Setiabudi, menuju hotel tempat teman Mama menginap.
“Tunggu di mobil ya Ri, tapi Riri pindah duduk ke belakang. Tante Maryam biar duduk di depan.” Mama memberi instruksi setelah mobil diparkir di halaman hotel.
“Jangan lama-lama di dalamnya.” Ujarku sambil pindah ke kursi belakang.
“Duh kamu nih, bukannya lewat pintu. Nanti rok nya sobek gimana?” Mama mengomel sambil berlalu menuju ke dalam gedung hotel. Mama selalu gemas dengan kebiasaanku berpindah ke ruang duduk di belakang tanpa prosedur yang benar: turun keluar dari pintu, untuk masuk lagi lewat pintu belakang. Bagiku cara seperti itu kurang efektif.
Sepuluh menit kemudian, Mama sudah kembali bersama sesosok wanita mungil mengenakan set atasan dan bawahan berwarna krem. Ia menjinjing tas mungil berwarna senada, dan kepalanya dihias kerudung putih gading berhias bunga kecil. Manis sekali. Sosok Tante Maryam terlihat kalem dan keibuan, kontras dengan Mama yang terlihat tegas dan penuh energi.
“Riri, salim ke Tante Maryam. Ini sobat Mama selama kuliah dulu, tinggalnya di Surabaya, tapi lagi liburan ke Bandung.”
Aku meraih tangan Tante Maryam dan meletakkannya pada keningku.
“MasyaAllah, Riri udah besar, tante pangling. Dulu terakhir lihat masih balita ya, masih tembem. Sekarang udah jadi gadis ayu.” Tante Maryam mengusap kepalaku dengan lembut. Aku membalas dengan senyuman.
“Riri kelas berapa sekarang?” Lanjutnya lagi.
“Kelas 2, Tante.”
“Oh beda tiga tahun ya dengan Rendra. Udah kelas 2 SMA loh Rendra sekarang, Lin.”