Tiga sama. Skor kami imbang. Aku berhasil menebak intro dari I will survive-Cake, Closing time – Semisonic, dan Wonderwall – Oasis yang dimainkan oleh Evan menggunakan gitarnya. Sementara Evan berhasil menebak judul setelah aku mengutip beberapa lirik dari lagu Everything you want – Vertical Horizon, I know – Save Ferris, dan Iris – Goo goo dolls. Kami berencana untuk menambah masing masing satu pertanyaan untuk menentukan pemenang, tapi adzan ashar berkumandang,
Evan berpamitan sebentar untuk pergi ke masjid, setelah sebelumnya mengantarku ke area mushola di lantai kedua rumah kayu. Di lantai 2, sudah ada Tante Fera, Tante Maryam dan Mama duduk mengobrol asik di seberang mushola. Mereka sepertinya sejak tadi ada di sini. Setelah kami semua sholat, aku melihat Tante Fera menyalakan TV dan VCD Player yang tersambung dengan stereo set. Ketika VCD sudah terpasang, muncul tulisan ‘Best Karaoke Collection’. Aku punya firasat Mama baru akan mengajakku pulang setelah makan malam, karena karaoke adalah salah satu kegiatan favorit Mama, yang sepertinya juga merupakan hobi dari Tante Fera dan Tante Maryam. Daripada terjebak dalam suasana lagu jaman dulu, aku memutuskan kembali ke lapangan rumput tempat dimana tikar dan gitar Evan menanti.
“Kak Ririiii, Abang mana?” Felisha memanggilku sambil berjalan menghampiri tempatku duduk.
“Tadi ke masjid.” Jawabku sambil berdiri menuju arahnya, membantu ia menuruni undakan rumput.
“Kak, Ade pengen diceritain lagiii.” Rengeknya manja.
“Boleh, pake boneka lagi? Kita ke dalam rumah lagi?” Tanyaku dengan antusias.
Felisha menggeleng.
“Di sini aja, di dalam berisik.” Felisha menutup kedua kupingnya sambil memasang muka cemberut.
Aku tertawa gemas melihat gesturnya.
“Yaudah, ayo kita bawa bonekanya ke sini.”
Felisha mengangguk lalu berlari dengan semangat menuju ke rumah kayu.
Aku dan Felisha baru selesai menyusun boneka di atas tikar ketika Evan datang.
“Wah, banyak yang mau liat Abang nyanyi ya?” Evan mengomentari boneka boneka yang memenuhi tikar.
“Bukan, Abang, ini kak Riri mau cerita.” Felisha menjelaskan sambil memilih boneka yang ingin ia beri padaku agar cerita segera dimulai.
“Cerita? Mendingan dengerin Abang nyanyi!” Evan duduk di samping Felisha.
“Ngga mauu, Ade ngga suka lagunya!” Felisha menggeleng kencang.
“Gimana kalo Ade yang nyanyi? Pasti seru, ditemenin Keku?” Aku mencoba membujuknya, sepertinya seru jika bisa melihat duet kakak adik ini.
“Ngga mau ah, itu Mommy nyanyi, terus kita di sini nyanyi, kok rumah ini jadi nyanyi semua!” Protes Felisha. Aku tersenyum melihat muka cemberutnya yang menggemaskan, sedangkan Evan pura-pura tidak mendengar dan mengambil gitarnya lalu mulai memetik senar gitar-nya perlahan. Sepertinya petikan gitar Evan cocok untuk menjadi latar untuk cerita boneka di sore hari, maka Aku mengambil Keku dan memulai bercerita.
“Pada suatu sore yang cerah,
Keku sedang melompat riang menuju padang rumput kesukaannya...
tiba-tiba… aww,”
Aku berhenti sejenak, menggerakan boneka agar terlihat kesakitan. Dengan sigap, Evan pun menghentikan petikan dari gitarnya.
“… ada sesuatu yang menghantam kepalanya. Kepala Keku tidak terluka, namun ia kaget. Apa gerangan yang tadi mendarat di kepalanya?