Aku sayang Nio. Amat sangat menyayanginya. Entah apakah ini yang dinamakan jatuh hati? Tapi aku tak pernah merasakan degup tak beraturan ketika Ia ada, dan aku juga tak merasa ingin menyanyikan berbagai lagu cinta. Tapi Nio selalu bisa menerima segala sifat dan sikapku yang tak sempurna, dan keberadaannya membuat hatiku lebih tentram.
Ia berbeda dari lelaki manapun yang pernah aku kenal. Hanya Nio yang bisa membuatku tertawa lepas, meskipun aku sedang amat bersedih. Hanya Nio yang bisa memahamiku, meski aku tak menceritakan apapun kepadanya.
Aku sebetulnya begitu bersyukur, Ketika kemarin Nio mengungkapkan perasaannya padaku. Tapi, aku sadar betul, sampai kapanpun, aku tak pernah akan merasa layak menjadi istrinya, atau istri siapapun. Aku tak ingin Ia menjadi bagian dari keluargaku, dan tertimpa berbagai kesulitan karenanya. Cukuplah aku yang menanggung semua ini sendirian, sebagaimana takdirku sejak mula: terlahir semata wayang.
Aku sayang Nio, dan ingin melihatnya hidup Bahagia. Dalam nalarku yang terbatas, kata 'Bahagia' untuk Nio, berarti menghilangkan kehadiranku di dalamnya.
***
“Orion Lumira” Seorang wanita berambut cokelat keemasan yang terurai hingga pundak memanggil namaku dengan lantang. Blazer hitam sebatas siku dan kemeja beraksen rample berwarna toska melengkapi penampilannya yang professional. Ada meja abu berlapis kaca dan kursi dengan warna senada di hadapannya. Ia mempersilahkanku duduk pada kursi yang ditunjuknya, lalu mempersiapkan beberapa berkas di atas meja.
“Mbak Orion, saya Shendi. Ini dokumen dokumen terkait catatan kredit milik Ibu Kristaliana, bisa dilihat pada catatan kami sudah tidak ada pembayaran cicilan sejak sebelas bulan yang lalu. Dan ini nominal bunga tertunggak di luar dari pokok tunggakan yang harus dilunasi.”
Aku memandangi deretan angka angka yang tertera, pelipisku mulai berdenyut, dan hatiku merasa terhimpit.