“Pertemuan kita adalah suatu ketidaksempurnaan semesta
yang harus segera dilenyapkan.”
Pemuda berkemeja lengan panjang—lengkap dengan celana kain berwarna krem, pantofel hitam mengilap, dan dasi merah marun terkalung di leher—itu mengarahkan titik fokus ke tengah lapangan seraya beberapa kali menghela napas berat.
Dia Orion. Orion Kalingga Archandra.
Bukan.
Orion bukan tipikal cowok the most wanted, bukan tipikal bad boy, bukan cowok dingin yang pelit bicara, bukan kapten basket, bukan juga kapten futsal, atau ketua organisasi lain yang digandrungi hampir semua kaum hawa seantero sekolah seperti biasa tertulis di dalam novel. Meski begitu, Orion bukan tipikal cowok kutu buku yang tak memiliki teman, diasingkan karena mengenakan kacamata tebal yang terkesan norak, atau tak pernah bergaul sama sekali.
Ya, pemuda itu hanya seorang Orion.
Ah, sebenarnya, daripada menonton pameran ekstra-kurikuler basket yang kini tersaji di hadapannya, Orion lebih ingin mendekam di ruangan berpenyejuk udara yang dipenuhi aroma buku alias perpustakaan sembari menanti giliran ekskul pramuka untuk tampil. Namun, niatnya tak dapat terlaksana karena kedua sahabatnya terus mendesak agar ia tetap bertahan di pinggir lapangan dan menyaksikan pertandingan basket dadakan tersebut.
Orion lantas menyisir rambut hitam pekatnya dengan jemari panjangnya seraya lagi-lagi mendesah singkat. Toh, pada akhirnya bibir pemuda itu tetap menyunggingkan senyum ramah.
“Orion.”
Kepala Orion menoleh ke arah sumber suara. Ia sempat dibuat tertegun oleh pemandangan yang tersuguh di hadapannya. Seorang gadis bertubuh jenjang itu tampak memesona dengan wajah anggunnya. Gadis yang mengenakan seragam khas hari Senin SMA Nusa Cendekia, yaitu kemeja putih lengan panjang dan rok lipit berwarna krem, itu menatapnya dengan penuh binar. Sempurna seperti biasanya.
Akan tetapi, kekaguman Orion langsung buyar saat Alfa Damianto, sahabat karibnya, menyikut lengannya dengan keras.
“Disapa, noh, sapa balik coba,” kata Alfa, yang kemudian diangguki anak lain yang memakai name tag Auriga Alfarizi.
“Eh? Iya. Hai, Ilona. Long time no see, ya?”
Gadis yang disapa balik itu terkekeh kecil dengan wajah merona, membuat Orion ikut menyunggingkan senyuman. “Iya. Selama libur, kamu nggak pernah ada kabar sama sekali, sih. Hilang gitu aja.”
Ilona Yasmine Weigel. Gadis berdarah campuran Indonesia-Jerman ini teman sebangku Orion sewaktu kelas X dulu. Seperti diketahui, SMA Nusa Cendekia alias Nuski menerapkan sistem pembagian jurusan sejak kelas X. Artinya, Ilona pernah berada di jurusan yang sama dengan Orion, yaitu Bahasa. Namun, di pertengahan jalan, Ilona merasa berada di jalur yang salah sehingga akhirnya memutuskan untuk pindah jurusan.
Sifat Ilona yang ceria, murah senyum, dan lemah lembut berhasil membuat Orion menyukainya. Namun, sayang beribu sayang, ia tidak pernah memiliki cukup keberanian untuk mengungkapkan perasaan pada gadis berkulit putih bersih itu. Alhasil, Orion hanya bisa terus mengagumi Ilona tanpa berani mengambil tindakan apa pun.
Sampai akhirnya, pemuda itu mengambil keputusan untuk menjauh dan mencoba secara perlahan menghapus nama Ilona dari hatinya. Apalagi berita tentang Ilona yang menerima pernyataan cinta Ahmad Resta Wiraatmaja, si anak futsal, tersebar luas dan sampai di telinganya. Orion benar-benar langsung menjauhi Ilona tanpa menuntut penjelasan apa pun dari gadis tersebut.
Lagi pula, untuk apa? Untuk menambah rasa sakitnya? Lebih baik tidak, terima kasih. Orion bukan tipikal lelaki yang mau terlalu larut dalam rasa sakit. Orion merasa dirinya juga pasti bisa merasakan bahagia, meski tak bersama Ilona. Hidupnya tidak akan berhenti hanya karena Ilona menjalin hubungan dengan pemuda lain. Toh, perempuan di Nuski dan di dunia ini bukan hanya Ilona.