Semua rakyat berduka, namun tak jarang juga yang berspekulasi macam-macam. Terutama tentang Pangeran Aslan. Aslan adalah Aslan, ketika ia tetap berpegang teguh pada rencananya. Tapi, bahkan pohon menyanyi pun tidak akan tahu bahwa ia memilih untuk melompat bersama pria tua bertopeng porselen itu kedalam air terjun yang deras.
“Tidakkah anda lelah, Yang Mulia?” tanya Cain ikut berjongkok, dan duduk disamping Alana yang sedang memeluk kakinya sambil bersandar ke tembok. Kepalanya di sembunyikan seperti kura-kura yang malu. Gadis itu kelelahan. Ia sudah semalaman di Kayu Manis. Tidak mau pulang ke Victory House karena ia tidak mau meninggalkan Aslan sendirian. Dia akan baik-baik saja. Aslan adalah pemuda yang kuat. Ia pintar menyelam, jadi pantas kalau ia selamat. Ia akan baik-baik saja…. Ucapnya berkali-kali pada dirinya sendiri. Tak henti-henti air matanya mengalir seperti Poppy’s Fall. Namun ia menyuruh kedua pelayannya, Edith dan Sophie untuk pulang saja, agar beristirahat sebentar. Nina bersigap menggantikan Edith dan Sophie untuk menemani Alana. Katanya ia kini sedang berada dalam perjalanan.
“Aku yakin anda juga perlu beristirahat. Apa anda sudah makan?” sahut pemuda itu lagi. Gadis itu sama sekali tak berselera dengan hidangan yang sudah disajikan oleh koki Kayu Manis. Ia ingin menyegarkan kerongkongannya dengan air es, namun terlalu malas untuk memanggil pelayan kembali. Ia hanya ingin menangis saat ini. Namun Cain bersikukuh, menunggu jawaban Alana yang masih menyembunyikan wajahnya.
“Apakah anda mau segenggam pasir?”
Pertanyaan aneh apa itu? Sehingga dengan terpaksa Alana mendongakkan kepalanya. Menatap kilau mata birunya seperti lautan yang jernih. Ia tak bisa mengingkari perasaan kagumnya atas kilatan mata biru yang indah itu. Namun seketika perasaan bersalah ini hinggap lagi dihatinya. Jadi gadis itu menyembunyikan kepalanya lagi.
Cain tidak jelek. Namun ia memiliki pesonanya sendiri dengan mata biru laut itu. Birunya bukan biru pekat karena terdapat sedikit campuran warna hijau pada irisnya. Seperti warna Aurora Blackrock. Membuat siapapun yang memandangnya menjadi terkesima. Kulitnya yang sawo matang membuat Alana mengagumi Cain dengan sudut pandang yang unik. Rambut gelapnya jatuh ke dahi membingkai wajahnya yang lembut. Wajah lembutnya itu dipertegas oleh rahangnya yang membuatnya jadi tampak menarik. Terlebih di kalangan gadis-gadis keturunan Eropa di Ormovida. Cain tidak pernah secara khusus berolahraga untuk membentuk tubuhnya. Namun, setidaknya kini badannya tidak sekurus seperti pada saat masa remajanya.
“Pergilah, Cain. Istirahatlah.” Katanya pelan.
“Seharusnya anda juga, Yang Mulia. Biar aku saja yang menunggui Aslan.”
“Tinggalkan aku sendiri!” Teriaknya. Ia menjadi semakin kesal dan serasa ingin menyemburkan api pada Cain.