Egois, egois. Kamu egois sekali, Alana. lihat, betapa munafiknya? Baru saja kamu melontarkan kata ‘egois’ itu untuk Aslan, namun kenyataanya, kamu menjilat ludahmu sendiri. Menyerahkan amanah pada orang lain agar kamu dapat hidup dengan mudah? Hina. Pergilah ke Kraken’s Keep agar hidup damai.
Tidak, tidak bisa. Keinginan itu egois sekali.
Namun kalau ia harus tetap menjadi pemangku jabatan berat ini, ia ingin Aslan yang berada di sampingnya. Ia tidak mengenal siapapun disini. Yah, memang ia tahu tentang Dewan Rakyat. Alana bisa berdiskusi dengan mereka mengenai pemilihan Perdana Menteri. Namun untuk apa ia melakukannya? Ia tahu cara kerja Aslan sangat bagus dan efisien. Dan yang paling penting adalah, Aslan berintegritas untuk membawa kerajaan ini menjadi lebih baik dari era Ratu Marliana, ibu Alana.
“Aku tidak ingin menikah untuk dipaksa menghasilkan keturunan. Bodoh sekali aturan itu. Kuno! Sialan!” Alana mencicit dengan umpatan.
“Aku juga tidak ingin menikah hanya dengan tujuan seperti itu.” Aslan menyahut lagi, “Bagaimana kalau mereka menganggapku mengikuti jejak Papa dengan menjadi Perdana Menteri untuk kemudian menjadi sepertinya? Kamu harus ingat dengan gosip yang aku buat tentang kita, Ana. Meskipun gosip itu benar, tapi aku tidak mau hubunganku denganmu dianggap sedangkal itu. Banyak yang lebih mampu daripada aku. Aku tidak bisa menjadi Perdana Menteri.”
“Tapi aku yakin Dewan Rakyat akan mengajukanmu sebagai calon Perdana Menteri yang baru. Jabatanmu di ORIA bisa diteruskan oleh Cain. Aku dengar dia sudah mengajukan aplikasinya ke Kementrian Pertahanan.”
“Cain… Atas dasar apa mereka akan mengajukanku?”
“Para penduduk kini lebih banyak bersimpati padamu, apalagi setelah mengetahui kalau kamu melawan ayahmu sendiri. Prasangka mereka akan dirimu pun kini telah berbalik. Mereka telah mengetahui betapa pedulinya kamu pada urusan kerajaan.” Kata Alana. Tapi pemuda itu tetap menggeleng enggan.
“Please, Aslan. Aku sangat membutuhkanmu.” Mohonnya dengan sorot mata yang kini membuat Aslan merasakan gejolak di dadanya. Apa-apaan itu? Aslan menelan ludahnya, membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba terasa sekering gurun pasir. Matanya berkedip beberapa kali karena mendadak ikut kering seperti tenggorokannya. Namun ia mencoba mengatur ritme napasnya.
Bagi Alana, Aslan hanya mematung diam tak merespon sama sekali yang mana membuatnya agak kesal. Namun ia tidak bisa melepaskan rasa kesalnya pada saat-saat seperti ini. Sehingga ia kembali duduk dan menelan seteguk air dari gelas yang ada di atas meja nakas. Aslan mengikuti gerak Alana kemanapun. Kini Aslan berharap ia adalah gelasnya, dan air yang gadis itu sesap adalah jiwanya. Jiwanya seakan tersedot pada pemandangan itu.