Ormovida: Invisible String

Adin Suryaningrat
Chapter #8

Royal Funeral

Pemakaman Pangeran Baldwin dilakukan pada pagi hari yang cerah dan rindang setelah upacara penghormatannya di Victory House barusan. Kalau biasanya komplek pemakaman memberikan kesan menyeramkan hingga membuat bulu kudukmu berdiri, namun tidak di Damai Hill. Bahkan pada malam hari sekalipun. Lampu-lampu sorotnya begitu indah menyinari setiap pohon-pohon tua yang rantingnya bersuluran seperti jari nenek sihir.

Tempat ini betul-betul seperti namanya. Bunga berwarna-warni ditanam dimana-mana. Pohon Sikamor, Pohon Ek hingga Pohon Jati meneduhi jalanan dan tanah-tanah yang selalu lembab. Peti mati Pangeran Baldwin diturunkan ke dalam tanah yang telah digali sedalam 2 meter. Kemudian peti mati dari kayu Mahoni yang mengilat itu ditimbun oleh tanah, dan diberi tunas Pohon Jati yang di tanam diatas peti mati itu. Pemuka agama mendoakannya, semua menunduk dengan hikmat. Kira-kira, apakah Aslan kini sedang menangis meraung-raung dikamar seperti dirinya dahulu waktu Pangeran Alexander meninggal? Situasi seperti ini sudah pernah ia alami. Dan kini gantian Aslan yang harus mengalami kejadian seperti dirinya.

Prosesi pemakamam Pangeran Baldwin sangat familiar di mata gadis itu. Ia sudah menahan diri dengan baik selama berada disini untuk tidak mempertanyakan keyakinan yang dianut Aslan maupun Pangeran Baldwin. Karena hal itu adalah ranah pribadi seseorang. Tapi hari ini gadis itu tidak dapat menahan rasa penasarannya lagi. Sehingga ia terus menduga-duga—terlepas dari perkataan Cain tentang Aslan tadi—karena tidak ada simbol apapun di pemakaman Pangeran Baldwin. Hanya ada sebuah kutipan pendek tertulis di sebuah batu kecil yang menancap di tanah, “An early death is better than a life of sin.”. Apakah salah jika kini ia bertanya-tanya apa keyakinan yang dianut Aslan? Ia memang tidak tampak seperti orang menganut kepercayaan tertentu. Ucapan Cain itu kini menjadi semakin masuk akal di kepalanya. Tapi, memangnya kenapa kalau memang benar begitu?

Banyak rakyat yang beranggapan bahwa apa yang Aslan lakukan begitu heroik dan menginspirasi banyak penduduk. Dan merupakan suatu berkah tersendiri bahwa Aslan mampu selamat dari tragedi memilukan itu. Berbagai macam berita mengiringi prosesi hari ini. Video dari kejauhan yang menampakkan Pangeran Baldwin yang seakan hendak bunuh diri dengan menyeret leher putranya telah tersebar dimana-mana. Para penduduk berpendapat kalau Pangeran Baldwin masih memiliki rasa malu, dan yang paling liar, mereka mengatakan kalau Pangeran Baldwin begitu geram kepada Pangeran Aslan karena tidak memihaknya. Sehingga ia tidak segan lagi membunuh putranya itu.

Tak henti-hentinya kejadian ini dibicarakan di seantero negeri. Ucapan duka pun ikut berdatangan dari berbagai kalangan, tak terkecuali para penyihir agung Sage Village. Ratu Alana yang sedang memberikan keterangan resmi pagi itu menyatakan bahwa Pangeran Aslan selamat, namun sedang dalam masa pemulihan. Ia membaca kartu-kartu yang telah dibuatkan oleh Mr. Avic.

Beberapa saksi yang ada di aula Roseworth malam itu memberikan kesaksian yang serempak sesuai dengan apa yang mereka lihat di malam tragis itu: Pangeran Baldwin menyeret Pangeran Aslan ke pinggir balkon, lalu menariknya jatuh ke dalam Poppy’s Fall saat Ratu Alana berusaha melerai mereka berdua. Kesaksian tak terbantahkan itu serupa dengan video yang diambil dari puncak bukit menurun di seberang sungai dari aula Roseworth.

Nina mendekatinya dari samping dan berbisik pelan dari belakang, “Yang Mulia,” tumben sekali gadis ini berbisik-bisik. Tapi, memangnya Nina harus bersuara keras seperti biasanya saat sedang di tengah pemakaman begini?

“Ya, Nina,” Alana balas berbisik.

“Ada pesan untukmu,” Nina mengedip padanya sambil tersenyum. Mengapa Nina aneh sekali? Biasanya ia mendekat seperti ini jika ada gosip baru. Jika ada gosip baru, wajahnya tidak pernah setenang ini. Selalu tampak seperti anak anjing lucu yang sedang menjulurkan lidahnya dengan antusias. “Gosip baru,” Nina menggenggaminya sebuah kertas kecil. Gosip baru? Mungkin gosip ini begitu penting, hingga Nina tidak bisa menahan dirinya. Namun agar membuatnya tampak normal, makanya ia bersikap seperti ini. Tapi kenapa ia tidak mengirimkannya lewat ponsel saja, sih? Ah, ya, si bodoh ini meninggalkan ponselnya di wastafel toilet pagi tadi.

Gadis periang bernama Nina Bella itu pun buru-buru meninggalkan Alana. Namun ia menabrak gadis yang sedang menuju kearah berlawanan, dan gadis yang ditabrak oleh Nina Bella itu berjalan ke arah Alana dengan tersipu malu.

“Yang Mulia!” serunya dengan antusias.

Apa-apaan itu tadi?

Untuk sesaat, Alana benar-benar kebingungan. Masih menggenggam gulungan kertas kecil yang digenggamkan padanya tadi. Alana mencari sosok gadis itu kembali ke arah ia pergi tadi, tapi ia sudah menghilang bak ditelan kabut. Lalu bergantian menatap Nina yang sedang berjalan mendekat.

“Yang Mulia—”

“Aku tidak tahu kalau kamu punya kembaran. Apa itu tadi kembaranmu?”

“Kembaran? Aku bahkan tidak punya saudara, Yang Mulia,” Nina menggeleng heran.

Lihat selengkapnya