Aslan berjalan dengan langkah agak cepat di trotoar jalan Oswald pada sore hari. Ia berjalan terburu-buru seperti dikejar Kuda. Ataukah memang seperti itu cara berjalannya? Melewati rumah-rumah berpagar tinggi dengan mobil-mobil yang terparkir di pinggir jalannya. Langkahnya agak terpincang akibat melakukan tindakan yang terbilang heroik beberapa hari lalu. Pemuda itu sudah tidak memakai pakaian penyamaran lagi, karena kini pakaiannya cenderung normal seperti laki-laki seumurannya. Jaket bomber suede cokelat muda yang ia pakai tampak memberikan kehangatan di cuaca awal musim gugur ini.
Ia memasuki halaman besar sebuah bangunan klasik dengan dinding bata yang sudah lusuh dan mengetuk pintu melengkung berwarna putih. Rumah itu tampak tidak mencolok dari rumah-rumah di sekitarnya. Lalu seorang wanita paruh baya dengan beberapa baris rambut uban membuka pintunya. Wanita itu menyambutnya dengan bahasa Inggris dengan aksen Skotlandia kental.
“Selamat datang, Tuan Barack.”
“Thank you, Sloane.” Ia berjalan memasuki rumah yang hangat itu, lalu hendak menggantung jaketnya di gantungan lorong tamu. Beberapa foto dan lukisan kucing hitam terpajang di kertas dinding bunga-bunganya.
“Loro Piana. Tidak buruk juga, anak muda.” Itulah kata sambutannya pertama kali. Berkomentar tentang sepatu. Pemuda itu tersenyum tipis.
“Pengerajin mereka bagus.”
“Teh atau kopi?”
“Coffee, please.” Jawab Aslan menggunakan bahasa Inggris dengan aksen khas Prancisnya. Wanita itu pun berjalan anggun ke arah dapur saat Aslan duduk di sebuah sofa besar di ruang keluarga dengan perapian besar. Pemuda itu mengatur napas berulang kali, badannya masih terasa lelah dan ngilu di beberapa titik. Ia belum tidur sama sekali sejak mendarat di bandara. Karena harus langsung pergi kerumah Nyonya Sloane, kekasih Mr. Hasan Ubaidillah. Tak ada alasan baginya untuk mengulur-ulur waktu.
Nyonya Sloane datang kembali dengan membawa secangkir kopi dan susu di cangkir yang lain di sebuah nampan perak yang indah. Setelah Aslan mencampur kopi dengan susu dan menyeruputnya sedikit, Nyonya Sloane mulai berbicara.
“Hasan tidak pernah sampai disini.” katanya menunduk dengan penuh penyesalan. Wanita itu tampak tegar, namun sorot matanya mengatakan hal lain. Sebuah duka mendalam yang berusaha ia tahan. Mata sendunya memperjelas duka itu. Aslan pun meletakkan cangkirnya ke atas meja pelan-pelan. Tangannya agak terguncang sedikit.
“Maafkan aku, Sloane.” Ucapnya singkat.
“Raja Sulaiman datang menyusulnya kesini sebulan lalu.” Nyonya Sloane berkata dengan hati-hati, “Ia tampak terpukul saat aku bilang Hasan belum tiba sama sekali. Lalu pergi, ia bilang waktunya tidak banyak.”
“Raja Sulaiman?” Aslan berusaha tidak bereaksi langsung karena emosi sedang berkecamuk di dadanya. Namun wanita berambut abu-abu ini cepat-cepat menambah kalimatnya.
“Anda bukanlah satu-satunya orang yang terkejut atas itu, Yang Mulia.”
“Tidak, tidak, aku sudah menduga kalau ada kemungkinan kakek masih hidup.” Kata Aslan. “Aku hanya sangat ingin menemuinya jika dugaanku betul begitu.”
“Bagaimana anda tahu kalau ia masih hidup?” wanita itu bertanya penasaran.
“Aku mencurigai jasadnya pertama kali saat sedang ikut memandikannya sebelum dimakamkan. Aku berusia sepuluh tahun saat itu. Kakek mempunyai tahi lalat besar di bahunya. Tapi aku tidak melihatnya. Aku sampai kebingungan. Aku juga tidak bisa mengenali wajahnya lagi, karena waktu itu wajahnya sudah bengkak. Aku begitu histeris saat tidak bisa menemukan tahi lalat kakek. Tapi orang-orang hanya menganggapku sedang trauma karena kepergiannya. Banyak orang yang sedih ketika itu.” Aslan menerawang jauh menatap dinding di belakang Nyonya Sloane.
“Ya, aku ingat saat itu. Kebetulan saja aku baru selesai menjalankan misi dari MI6. Jadi aku bisa menemaninya berduka. Namun ia tampak begitu tegar. Aku tidak tahu apakah Hasan memang sudah menerimanya atau ia begitu berduka hingga tidak mampu memunculkan emosi apapun. Namun, kini aku tahu jawabannya. Hasan sudah merencanakan ini sejak awal dengan Raja Sulaiman.”
Aslan mengangguk-angguk. “Anda harus berkunjung lagi kapan-kapan.”
“Tentu, Yang Mulia, tentu. Apakah hanya itu saja yang membuatmu yakin?”