Pada caturwulan pertama di tahun 2018, sebuah negeri misterius gempar oleh serangkaian kejadian tragis. Negeri ini memiliki alasan tersendiri kenapa mereka menutup diri dari dunia luar. Perang dunia yang terjadi belasan tahun sebelum kerajaan ini berdiri adalah alasannya. Sekumpulan orang-orang ini berpendapat bahwa perang itu terjadi hanya karena para pemimpin kurang kerjaan ini ‘sedang bosan’, plus ada kepentingan bisnis yang mewarnai akhir perang itu. Mereka tak ingin hidup sebagai salah satu dari mereka, atau hidup berada di dalamnya. Orang-orang jenius yang ingin membangun peradaban dengan benar ini kemudian menemukan tempat tinggal di bagian bumi yang terpencil berkat cerita turun-temurun dari sebuah keluarga di Pulau Banda dan juga cara untuk menutup diri dengan graphelle. Mereka pun hidup damai serta makmur.
Perang adalah sesuatu yang kerajaan ini hindari. Para pendiri kerajaan ini sudah bertekad untuk hidup damai dan fokus memakmurkan negerinya sendiri. Namun saking makmurnya hidup para penduduk, beberapa penghuni beruntung ini memiliki banyak kesempatan untuk mengkhawatirkan saudara mereka yang malang di negara kelahiran mereka, Indonesia. Mereka mengkhawatirkan penduduk yang tinggal di bumi surga, namun tidak seperti surga akibat konflik yang masih membara hingga catatan ini ditulis.
Sebagai kerajaan dengan sistem perlindungan yang mumpuni, para penduduk ini meminta agar sang ratu mengirimkan bala bantuan untuk menyelamatkan saudara mereka yang terdampak konflik. Namun, Ratu Marliana lagi-lagi tak menggubrisnya. Ia bahkan menolak secara terang-terangan. Dan membiarkan gerakan ini semakin lama semakin besar. Hingga penuntut keadilan ini kini menjadi semakin besar dengan mengusung nama, Eclipse Movement. Yang menuntut pelengseran monarki, lalu mengusung raja baru. Yakni Perdana Menteri yang mereka elu-elukan.
Permasalahan Eclipse Movement bukanlah satu-satunya masalah yang kini sedang menimpa kerajaan damai itu. Mari kita lompat ke 19 tahun yang lalu. Masalah selanjutnya ini berawal pada tahun 1999, sang raja pertama di kerajaan itu dibunuh oleh pengawalnya yang setia karena sakit hati akibat celetukan tak bertanggung jawab atas tragedi yang pernah menimpa kehidupan pengawal itu di tahun sebelumnya di negara Indonesia. Kini kejadian itu berulang kepada putrinya, Ratu Marliana. Usaha pembunuhan sang ratu yang baik hati dan bijaksana ini dikabarkan dilakukan oleh Keluarga Tulip Merah. Keluarga yang memenangkan hak pengolahan graphelle kala itu. Graphelle adalah sebuah material sangat kuat yang terbuat dari satu lapis atom karbon. Menyusun segala bangunan serta sebagai sumber energi utama di kerajaan itu. Keluarga Tulip Merah dikabarkan sakit hati pada Ratu Marliana akibat permasalahan yang belakangan sedang menimpa keluarga ini.
Graphelle yang istimewa ini diproduksi di Laut Lavender. Laut yang merupakan pusat beberapa industri yang terkenal di kerajaan itu, selain graphelle yaitu industri perhiasan mutiara di Teluk Lavender. Graphelle memiliki peran penting dalam kerajaan ini sebagai pemasukan utama. Dibuat dari sampah-sampah pembuangan dari penduduk yang kemudian dibakar pada suhu tinggi tertentu hingga menjadi abu. Lalu abu itu diolah sedemikian rupa hingga menjadi debu yang sangat halus, lalu diolah lagi menjadi berbagai macam hal seperti energi listrik, bahan bakar, bahan penyusun bangunan, senjata, kertas foto, hingga brigadoon. Perisai tak kasat mata yang membuat kerajaan ini tak tampak dari pandangan mata telanjang orang lain. Karena bahan penyusun ajaib ini dapat menyerap atau memantulkan cahaya saking transparannya.
Kerajaan ini memiliki peraturan yang unik. Dewan Rakyat sudah mengeluarkan ultimatum sesuai dengan pakta yang sudah disetujui setiap penduduk yang sudah berusia 17 tahun ke atas. Yaitu menggolongkan perusakan lingkungan, keindahan dan fasilitas umum sebagai kejahatan tingkat tinggi yang setara dengan pembunuhan, perkosaan dan korupsi. Berbagai kejahatan itu dapat membuat orang yang melakukannya dikurung di Kraken’s Keep, penjara yang berada di kedalaman dua mil di bawah permukaan Laut Pyrus. Laut indah berwarna turqouise yang menjadi tempat tinggal para makhluk berbahaya separuh ikan separuh manusia. Yang dikenal di dunia ini sebagai makhluk kriptid atau makhluk mitos, sebutkan apa saja!
Sudah sejak setahun yang lalu para penduduk di sekitar teluk Laut Lavender mengeluhkan adanya sampah-sampah yang terseret ke pinggir pantai atau ke sekitar peternakan mutiara milik para pengusaha. Sampah ini tak mungkin berasal dari luar. Karena brigadoon yang mengelilingi kerajaan ini menancap kuat hingga ke dasar Lautan Pasifik Selatan tempat mereka tinggal. Sehingga tak mungkin sampah-sampah dari luar itu masuk ke perairan. Kecuali, sampah bahan baku sumber energi utama mereka ini jatuh ke lautan. Yang mana kita tahu, hal itu merupakan pelanggaran berat. Para penduduk sekitar hingga para pebisnis yang dirugikan ini pun melapor kepada Ratu Marliana atas kezaliman yang Keluarga Tulip Merah lakukan.
Namun Keluarga Tulip Merah tidak terima. Pabrik mereka dibangun dengan sistem yang bagus hingga mustahil sampah-sampah itu jatuh sendiri ke lautan. Mereka mengambil sampah-sampah yang telah dikumpulkan oleh agen pengumpul sampah yang ada di daratan ke beberapa tempat di pinggir lautan. Lalu kapal-kapal pengangkut sampah milik Tulip Merah mengambil sampah melalui belalai-belalai besi berdiameter 10 meter, dan mentransfernya ke tengah geladak yang dibangun serupa dengan lambung manusia dan memiliki katup besar sebagai pintu penutupnya. Kapal-kapal pengangkut sampah mereka tidak mungkin menjatuhkan sampah, meskipun kapal sedang penuh-penuhnya. Karena kapal sudah didesain sedemikian rupa agar aman dari kejadian serupa ini. Sayangnya, Ratu Marliana tidak menggubris laporan para penduduk dan Keluarga Tulip Merah yang sedang berselisih ini. Bahkan, ia tidak pernah membalas surat-surat Keluarga Tulip Merah yang berisi permintaan untuk mengunjungi pabrik graphelle yang mereka kelola. Untuk membuktikan bahwa sistem pengolahan mereka tidak bermasalah.