Alana Sjahrir bisa merasakan mobil yang ia tumpangi ini berguncang ketika melewati jalan tol bergelombang yang sepi dan gelap. Berusaha menyamankan punggung di sandaran sembari menatap suasana gelap di balik jendela. Ia tahu wajahnya tampak biasa saja di luar, mungkin justru lebih tampak berseri-seri. Tapi hatinya tidak. Ia benar-benar merasa gelisah. Ini bukan perjalanan biasa. Ini adalah perjalanan penting yang akan membawanya pergi dari negeri tempatnya bertumbuh ini.
Negeri dimana gadis ini bertemu kedua sahabatnya sejak di sekolah dasar yang kini mungkin sedang khawatir atas pesan WhatsApp terakhirnya. Meninggalkan mereka dengan segudang tanda tanya, “Lo ngapain, Al, ke tengah Laut Pasifik malem-malem? Lo jangan macem-macem, ya!” Mungkin mereka kini khawatir karena takut gadis berbibir mungil ini hendak melakukan tindakan nekat atas permasalahan yang akhir-akhir ini menimpanya. Kalian tahu, ia sendiri juga tidak merencanakan perjalanan mendadak ini.
Tiba-tiba saja seorang sepupu yang tidak ia kenal datang bersama ayah Alana tadi sore dari negeri yang tidak tercatat di peta mana pun, seperti jawaban doa yang langsung dijatuhkan ke pangkuan seketika oleh Tuhan. Membuat Alana yang sibuk mencari-cari cara untuk pergi ke tempat ini tentu saja menjadi sangat girang.
Gadis berparas campuran Belanda-Indonesia ini baru tahu beberapa hari lalu kalau ibunya masih hidup sebagai ratu di sebuah kerajaan di tengah Laut Pasifik Selatan ini. Berawal dari satu surat yang Alana temukan di album foto karena ayahnya ceroboh pada hari itu. Kemudian berakhir dengan segulung surat berpita beludru biru tua yang ia temukan di laci rahasia nakas kamar ayahnya, berkat kesukaan Alana pada teka-teki. Tidak dapat Alana pungkiri, perasaan kecewa yang merayap seperti rombongan semut terhadap kedua orang tuanya karena mereka mampu membohonginya dengan skenario ini.
Begini rencana awalnya. Alana hanya ingin punya pekerjaan bagus, mengumpulkan uang lalu hidup damai. Seperti orang-orang normal pada umumnya. Tapi kini ia harus maju menggantikan ibunya yang sedang sekarat untuk memerintah.
Kedatangan sepupunya tadi adalah untuk menjemput gadis ini menuju takdir yang tampak aneh bin ajaib ini. Rencana ini begitu mendadak hingga ia tak sempat mengobrol banyak dengan mereka. Saat ini, ia tidak akan bertanya mengapa mereka menyembunyikan diri. Alasan tentang ibunya saja sudah cukup untuk membuatnya bergegas. Tapi gadis itu tak dapat berhenti berpikir, bagaimana bisa ada negeri yang sama sekali tidak terdeteksi oleh peradaban modern? Secanggih apa teknologi yang mereka miliki sehingga dapat menyembunyikan diri seperti itu?
Sebagai gadis yang telah menjalani kehidupan penduduk sipil biasa, memanglah menggiurkan dengan status pewaris itu. Apalagi jika dengan teknologi secanggih ini, pasti kerajaan ini adalah kerajaan yang kaya. Bukankah begitu? Ia bisa memperoleh apa pun yang ia mau. Menggunakan uangnya untuk membuat rumah aman untuk para penduduk sipil yang terdampak konflik di Papua. Atau memberantas kemiskinan, atau menggunakan kekuatannya untuk memberantas perdagangan manusia dan anak-anak di seluruh dunia. Ia peduli pada hal-hal semacam ini. Ia suka menulis tentang hal-hal tersebut bersama kedua sahabatnya di media sosial sebagai anonim. Namun tak mau orang lain tahu, karena hal semacam itu bisa membuat mereka dicap dengan serangkaian olok-olok jahat di kolom komentar. Mereka bertiga tak memiliki mental semacam itu.
Tapi, bisakah ia hanya dapat uangnya saja? Karena sekeras apa pun gadis itu berpikir, hati kecilnya tetap meronta tidak ingin ia maju menjadi ratu. Terus mengulang-ulang, aku hanya mau bertemu Ibu. Titik. Dalam pikiran gadis itu, jadi seorang ratu pasti tidak semudah kelihatannya. Ia bahkan tidak punya kemampuan berbasa-basi seperti yang biasanya ia lihat di media sosial milik Ratu Yordania. Kalau seandainya ia memiliki kemampuan super atau harta yang berlebih, akan ia gunakan hal-hal tersebut untuk merubah semua ketidakadilan dengan tangannya sendiri.
Semua masalah yang Alana alami seakan tertinggal di belakang seiring dengan kecepatan mobil yang bergerak pelan. Sebelum ini, kekasihnya meninggalkannya untuk bertunangan dengan orang lain, karena gadis ini pernah menolak ajakannya untuk menikah dengan alasan yang cukup masuk akal. Ia tidak bisa menikah di tengah-tengah studinya. Sepekan lalu, ia difitnah oleh teman sejawatnya mencuri sejumlah uang dari seorang klien besar, yang berujung pemecatan memalukan dari tempatnya bekerja. Sebuah perusahaan periklanan bernama Square Blocks Advertising. Lucunya adalah, gadis ini baru saja lulus dan masih dalam masa percobaan tiga bulan. Gadis itu bahkan tidak pernah berhubungan dengan klien besar bertopeng porselen separuh yang eksentrik bernama Pak Barack ini. Kecuali, kejadian memalukan saat itu ketika sepatunya tidak sengaja terlempar ke hadapan klien besar itu ketika sang gadis sedang berlari. Sialan, bagaimana bisa aku masih memikirkan mereka di tengah perjalanan menegangkan ini? Aku tidak ingin memori perjalanan ini menjadi ternodai. Stop, katanya pada dirinya sendiri.
Sepupu asing ini bilang pada Alana kalau rombongannya tidak akan melanggar batas kecepatan yang sudah ditetapkan pemerintah Indonesia meskipun sedang terburu-buru. Bukankah semua orang biasanya melanggar peraturan agar bisa cepat mencapai tujuannya? Katanya, kecepatan minimum sudah cukup untuk menempuh jarak dari Bandung ke Jakarta. Apalagi ini malam hari. Tidak terlalu banyak kendaraan lain.
Mereka berangkat dalam dua rombongan. Alana berada dalam satu mobil bersama Aslan—sepupu yang baru ia kenal—dan seorang pengawalnya, Adrian. Sedangkan Pangeran Alexander, ayah Alana—seorang dosen di salah satu universitas negeri bergengsi di Kota Bandung—ditemani seorang pengawal bernama Razi, supir pribadi Pangeran Alexander yang dipanggil Paman Eddy, dan putra sang supir, Kevin. Kamu tidak akan percaya betapa misteriusnya takdir, kalau aku ceritakan sebuah cerita kecil dramatis yang mengiringi perjalanannya.