Gadis itu membuka matanya perlahan, mengerjapkannya beberapa kali.
Alana terbangun di dalam sebuah pesawat. Ini adalah pesawat termewah yang pernah ia naiki. Karpet tebal melapisi seluruh lantai dan dinding, bau wewangian yang mengingatkannya pada udara laut segar dan sofa dari kain beludru paling lembut yang pernah ia sentuh. Kepalanya terasa berat dan pening. Tubuhnya serasa babak belur. Telinganya terasa agak berdengung dan kerongkongannya sekering gurun pasir. Ia berusaha bangun perlahan sambil agak mengernyit, lalu mengamati sekelilingnya. Apakah ini pesawat private?
Alana belum pernah naik pesawat seperti ini.
Kedua bahunya sudah terasa normal. Namun ia memakai penyangga lengan di tangan kirinya. Celananya robek di sepanjang paha kanannya. Ada perban pula di lututnya. Ia dapat merasakan gundukan plester di tulang pipi dan dahinya. Lalu ia pun melepas tempurung oksigen yang ada di hidung.
Ke mana semua orang? Alana mengerjapkan mata sambil menggeleng. Apa yang ada di balik pintu itu? Apa itu tempat pilot mengemudikan pesawatnya?
Ribuan suara yang menyuruhnya untuk berdiri seakan menyerbunya pada detik itu. Sehingga dalam hitungan ketiga ia sudah berhasil berdiri di atas kakinya. Alana berjalan terpincang dengan kaki telanjang, lalu menemukan seorang laki-laki paruh baya sedang sedang diinfus oleh cairan biru. Di hidungnya terpasang oksigen yang bentuknya seperti cangkang kerang besar berwarna bening.
“Sudah bangun, Yang Mulia?” Seketika Alana berbalik. Alana dikejutkan oleh suara lembut dan berat itu. Matanya terpaut dengan mata cokelat terang yang tampak jelas di cahaya hangat ini. Sosok berbadan tegap berumur sekitar tiga puluh tahun berada di hadapannya. Ia tampak sedikit lebih tua daripada Alana. Usia mereka terpaut sekitar lima tahun jauhnya.
Aslan tersenyum dengan wajah yang penuh luka. Kulit di tulang hidungnya mendapat dua jahitan. Sedangkan sisanya adalah luka baret. Namun, wajahnya yang sedang penuh luka tidak mengurangi kadar senyum lembut itu. Jujur saja, ketika melihat lesung pipinya, hati gadis itu terasa seperti mentega hangat yang meleleh di atas roti.
“Terima kasih sudah mendorongku tadi,” godanya.
“Di mana semua orang?” tanya Alana yang masih bingung dan waspada.
“Ada di belakang, sedang diobati oleh Bibi Margareta. Kamu butuh minum?”
Alana mengangguk. Lima detik kemudian Aslan datang lagi dengan membawa segelas air putih yang sejuk, dan sebuah ember kecil. Kemudian Alana meneguk air sejuk itu dengan rakus karena merasa haus sekali, sambil duduk di sofa yang ia tiduri tadi.
Ah, betapa leganya. Tapi sekarang malah seperti ada rasa aneh pada ulu hatinya, rasa pusingnya makin menjadi, dan juga rasa mual—
BYUR!
Sedetik kemudian, Alana memuntahkan isi perutnya. Aslan pun bergegas membantu memegangi rambut cokelat gelombang besar Alana yang terurai. Rupanya inilah alasan Aslan membawa ember kecil itu.
“Aku curiga kamu mengalami gegar otak. Makanya aku jaga-jaga membawa ini. Tidak perlu malu, Alana,” selorohnya sambil tersenyum.
Pemuda berwajah blasteran tersebut memiliki logat Prancis yang kadang terdengar seperti bergumam saat ia berbicara bahasa Indonesia. Saking belum terbiasanya, sempat terpikir oleh Alana mungkin hanya pendengarannya yang sedang bermasalah karena dengung yang tidak kunjung berhenti. Alana hanya bisa melirik lemas dan tentu saja, merasa tidak enak karena muntah. Pandangannya berdenyut-denyut.
“Aku akan mengambil obat untuk mencegah rasa mualmu makin parah, perjalanan kita masih beberapa jam lagi. Ketika sampai nanti, kita harus segera memeriksa seberapa parah cederanya,” ujar Aslan sambil menggulung lengan bajunya yang sudah sobek tidak karuan. Membuat otot-otot tangannya yang ramping tampak menonjol. Terdapat belang bekas matahari di lengan dan pergelangan tangannya. Belang di pergelangan tangannya itu mungkin karena dia memakai jam tangan. Tapi di lengannya itu? Apakah Aslan sering main ke pantai? Alana jadi ingat kebiasaanya main ke Ancol atau Pangandaran bersama kedua sahabatnya setiap dua minggu sekali. Merasa menemukan sedikit kesamaan pada pria yang tadinya tampak membatasi diri ini. Aslan membawa ember penuh muntah itu dan memberikannya pada Bibi Perawat yang baru saja keluar dari pesawat bagian belakang. Tidak lama, ia kembali dengan membawa obat.