ORMOVIDA: Sang Burung Cenderawasih Raja

Adin Suryaningrat
Chapter #5

Si penabrak Misterius

Malam itu, serpihan-serpihan kaca berserakan di jalanan. Asap mengepul dari kedua kap mobil. Saat gadis itu sadar, dunianya terasa jungkir balik. Ia dapat mencium bau bensin menyengat yang menetes-netes. Kemudian bunyi gemeretak dari beberapa bagian mobil yang ringsek. Suara alarm keamanan mobil menyala bersahut-sahutan memecah keheningan. Entah sudah berapa lama mereka tidak sadarkan diri, tapi tidak ada orang lain yang datang menolong mereka. Jalanan tol ini masih sepi.

Sedangkan pria muda itu, Aslan, terlempar keras ke tanah yang penuh dengan ranting dan bebatuan tajam. Saat ia sadarkan diri, kepalanya terasa berputar-putar. Tak pernah Aslan merasa begitu kacau. Meskipun perasaan mual menghampirinya, ia tetap bangkit. Ia menyadari sobekan panjang di kulit lengannya mengucurkan darah segar. Aslan merasa panik dan bingung. Namun ia harus tenang. Tenang adalah resep nomor satu untuk mencapai sebuah kemenangan. Aslan melepas jaketnya yang sudah sobek tidak karuan, memakainya sebagai perban untuk membungkus luka di lengannya sekencang-kencangnya. Setelah itu dia merogoh kantong dan mengeluarkan Commo-tag. Namun ia menyadari bahwa layar sentuhnya retak akibat kecelakaan. Dalam keputusasaan, Aslan mencoba memenccet tombol-tombolnya, berharap bahwa alat ini akan memberikan bantuan yang dia butuhkan.

Alana pernah mengalami patah tulang ketika ia tidak sengaja terserempet mobil saat sedang bersepeda waktu kelas 4 SD. Rasa panas ngilu di bahu kanannya terasa membakar, mirip seperti waktu itu. Gadis malang itu kini tidak tahu bagaimana caranya bergerak tanpa menyakiti dirinya sendiri. Wajahnya yang cerah sudah tak karuan dengan ceceran darah. Tapi ia tidak peduli. Dengan mengabaikan rasa sakit menyengat ini, tak tahu bagaimana terjadinya, kini gadis itu berhasil merangkak dari celah-celah mobil yang agak ringsek.

Bagaimana rasanya ketika kamu kehilangan sesuatu milikmu yang paling berharga? Apakah kamu merasa seperti tersedot sesuatu? Atau merasa seperti ingin mati? Alana merasa seperti ditarik ke dalam inti bumi dengan kecepatan super. Hatinya begitu mencelos ketika melihat ayahnya tertelangkup dengan posisi aneh membelakanginya di tengah jalan. Mengapa ayahnya tampak tidak bergerak sama sekali? Alana bertanya-tanya, mengapa ia merasa ayahnya diam saja seperti batu? Sehingga dengan tangan yang cedera sebelah ini, ia mencoba merangkak perlahan karena kakinya masih terasa lemas sekali seperti tidak memiliki tulang. Bapak tidak boleh tiduran di tengah jalan, batin Alana.

Saat ia sedang berusaha merangkak pelan, tiba-tiba seorang laki-laki berpakaian hitam menghampirinya. Gadis itu dapat merasakan cengkeraman tangan laki-laki itu menekan bahunya yang sedang cedera. Rasanya tak bisa ia jelaskan dengan apa pun. Sakit sekali merayapi bahunya. Sampai-sampai tenggorokannya tercekat, tidak mampu mengeluarkan suara sekecil apa pun. Seperti tenggelam di dalam air. Gadis malang ini bahkan kesusahan untuk sekadar menarik napas. Dengan cepat, rasa takut kini mengambil alih sisa energinya, Bagaimana kalau aku mati di sini?

Tidak, aku tidak bisa mati disini. Bapak—ah! Sakit sekali rasanya saat kepalanya dibenturkan ke aspal tanpa ampun. Kini pandangannya mulai berdenyut-denyut karena benturan itu. Alana bisa merasakan badannya gemetar ketakutan sembari berusaha merangkak kabur dari pemuda misterius yang kejam ini. Rembesan darah mengalir dari pori-pori kulit kepalanya yang sudah sobek, melewati bibir. Alana tidak boleh pingsan sekarang. Apa pun hal mengerikan yang akan terjadi setelah ini tidak boleh terjadi.

Tanpa pikir panjang, Alana pun berbalik bangkit lalu mengganyang tubuh si penyeret itu dengan segenap kekuatan yang ia miliki hingga ia tumbang ke aspal. Namun laki-laki misterius itu tidak mau kalah, ia ganti mencengkeram kaki kurus Alana hingga ia terjerembab ke aspal kasar itu. Lalu tangan pembunuh itu bergerilya menuju ke leher Alana, mencekiknya tanpa ampun dengan sorot mata gelapnya. Tapi gadis itu ingat betul pada bersitan perasaan kasihan ini. Wajahnya tampak tirus, tapi bukan tirus karena kelaparan. Pemuda yang sepertinya seumuran Alana ini lebih pantas bekerja menjadi seorang model daripada seorang pembunuh bayaran. Apa yang menyebabkannya seperti ini? Gadis ini berusaha menatap mata pemuda ini dengan sorot mata memelas sambil menahan tekanan pada lehernya, berharap ia berubah pikiran.

Namun, cekikan ini terlalu keras. Tenggorokannya sudah mulai panas, menghanguskan harapan di hatinya sampai pupus. Bagaimana ini ….

Lihat selengkapnya