“Heran. Gimana ceritanya gue bisa ngebucin itu cewek sampe lupa daratan gini? Padahal dia kagak ada waras-warasnya.”
—Marvelo Bagaskara
A B C D E
Aktivitas di kompleks perumahan sudah padam. Paling hanya ada hansip di pos jaga beserta rombongan bapak-bapak yang kebagian tugas ronda, tapi kehebohan di salah satu rumah blok D5 mengacau narasi yang penulis buat susah payah.
Andai kata kedua orang tuanya tidak mengancam akan menghapus namanya dari Kartu Keluarga. Pasti cewek itu tengah tertidur pulas di kamar hotel, alih-alih menjaga rumah sendirian selama seminggu penuh.
Bosan.
Sungguh, jika ada kegiatan selain bernapas di atas kasur dan memejamkan mata, dia dengan senang hati memilihnya. Bercumbu mesra dengan Kim Taehyung atau Nicholas Saputra misal.
Jenuh hanya menggeliat hingga kepala pening, dia bangun dan berjalan hilir mudik seperti setrika kepanasan. Masih gabut, tangannya brutal melempar bantal ke penjuru kamar, lalu mengacak seprai pink hingga copot.
Melihat keadaan kamarnya yang menjelma kapal pecah, dia mendesah, "Yah, siapa yang mau tidur di kamar kena tornado gini." Bodoh, yang bikin kamarnya sendiri kacau itukan dia.
Lampu bohlam 50 watt menyala terang benderang. Berlari sprint dia menuruni tangga, masuk ke dapur untuk mengecek persediaan camilan selama seminggu yang orang tuanya tinggalkan sebelum pergi ke luar kota untuk urusan bisnis.
Lagi-lagi cewek berkuncir kuda itu mengeluh. Tidak ada satu pun camilan yang bersisa. Baik di toples atau kulkas, sama-sama kehilangan aura kehidupan—suram melompong seperti nasi goreng tanpa nasi. Terutama isi kulkasnya sangat menyedihkan, hanya ada es batu dan botol berisi air dingin. Bisa saja sih, meminum air dingin sampai kembung, tapi nanti dia bakal beser terus.
Langkahnya gontai merebahkan tubuh di sofa ruang tamu. Bagus, bukan hanya gabut sekarang juga kelaparan.
Dia membentuk sikap lilin, lalu kayang dan diakhiri roll depan. Dikarenakan sofa yang suci tidak ingin ikut campur, otomatis cewek yang umurnya hampir menginjak 17 tahun itu terjengkang ke lantai.
"Aduh! Udah jatuh, laper lagi!" keluhnya sambil mengusap pantat. "Masa pemanasan gak bikin kenyang?"
Iyalah, kalau laper itu obatnya makan. Sama seperti rindu yang obatnya harus bertemu.
Omong-omong bertemu, seketika ilham merasuki jiwa anehnya. Ada seringai licik saat senyum terukir. Secepat sonic dia kembali ke kamar, memberantakkan semua barang yang terpajang.
Matanya menyipit. Kemana perginya benda pipih yang dia butuhkan? Apa harus bertanya pada peta, atau ini sama kisahnya seperti pas mau beli bakso malah tidak lewat, giliran tidak dibeli justru menampakkan gerobak 10 kali?
Jari telunjuk menempel di dagu, sangat serius seolah sedang menyelesaikan Penilaian Akhir Semester yang isinya soal HOTS. Padahal dia tipikal manusia yang mengandalkan keberuntungan setiap mengerjakan ujian.
Kalau tidak minta contekan, paling menghitung kancing cap-cip-cup. Itu buat soal pilihan ganda, bagaimana dengan essai? Oh, mudah sekali, si genius ini tinggal menyalin jawaban sesuai perintah.
'Tulislah jawabannya dengan baik dan benar!', maka dengan senang hati, dia akan menulis semua lembar essai dengan jawaban: baik dan benar.