ORPHIC!

Pinklaf
Chapter #3

3. Manusia dan Gebetannya

“Cahaya bulan aja insecure sama senyum dia.”

—Ariana Vasil

A B C D E

"Dinginnn!" Angin malam menerpa jari-jari Ariana.

Akhirnya, perjuangan mengelabui Fina sukses besar. Untung saja, Fina lebih menyayangi putri sahabatnya ketimbang putranya.

"Tutup jendelanya!" Marvelo melirik tajam ke samping, membuat Ariana menggerutu. Namun, tetap menuruti perintah.

"Apa sih, Vel? Kamu marah-marah mulu. Heran, emangnya aku salah apa?" Pupil mata Ariana membesar.

Marvelo menahan napas. Jurus andalan seorang Ariana Vasil yang selanjutnya: puppy eyes. Tidak ada yang dapat menolak keimutan dan kesucian tatapan polos itu. Apalagi pipi tembam Ariana seolah mendukung orang lain percaya jika dia tidak berdosa.

Gelo sia! Aing kudu salto dari mobil kitu?(lo gila! Gue harus salto dari mobil gitu?)

Dasar Marvelo payah.

"He, lo duluan yang cari gara-gara sama gue." Dia membuang wajah, tidak kuat memandang Ariana lama. "Darah tinggi gue jadinya."

Kepala Ariana memiring. "Ha? Darah tinggi?" Kedua kelopak matanya berkedip, terkesiap dengan sahutan Marvelo. Darah tinggi itu penyakit, bukan?

"SEJAK KAPAN KAMU PUNYA PENYAKIT DARTING GINI?!" pekik Ariana. Melepas safety belt, mencondongkan badan untuk menyentuh kening Marvelo. "Tapi kamu gak demam, ah."

Terkejut, Marvelo hampir kehilangan kendali atas stir dan membuat ban mobil mengepot di jalan raya licin. "Ar! Bahaya!" Bersyukur jalanan sepi selepas hujan deras tadi sore. "Pake lagi safety belt-nya!"

Ariana kembali ke posisi semula. "Maafin aku," lirihnya. Manik hitam kecokelatan itu berkaca-kaca.

Tubuh Marvelo terpaku, embusan napas hangat menyeruak kencang. "Gue gapapa, Ar. Lo mau tahu apa yang bisa bikin gue punya penyakit lebih parah dari darting?"

Tidak memiliki ide menjawab pertanyaan. Ariana memilih menggeleng.

"Gue sakit kalo lo kenapa-kenapa. Misal kayak tadi, bahaya, Ar. Bisa aja ban mobil tergelincir terus kita nabrak pohon atau tiang listrik. Lebih buruknya, bisa aja kecelakaan nabrak mobil lain. Gue pasti selamat, tapi lo lepas safety belt. Kepala lo terluka kena dashboard."

Tangan kiri Marvelo mengusap pucuk kepala Ariana. "Gue takut, Ar." 

Kehilangan orang-orang yang disayangi adalah mimpi buruk. Begitu nyata, sampai spekulasi bermunculan: kenapa mimpi ini sangat realistis? Pertanyaan retoris yang hadir dari ketidakpercayaan dan Ariana salah satunya. Mimpi buruk yang Marvelo takutkan terjadi di masa depan.

Mulut Ariana terkatup, kehabisan kata-kata. Diraihnya tangan Marvelo, menggenggamnya erat. "Makasih Velo." Dia tersenyum manis, hati Marvelo berdegum tidak karuan.

"Btw, Vel." Ariana menyengir. "Kamu punya darting sejak kapan?"

Harap sabar Marvelo. Ini ujian.

"Sejak ketemu lo!"

"Eh? Dari bayi, dong. Kasian kamu."

Wajah polos Ariana celingukan memahami Marvelo. Tidak salah sepenuhnya, mereka bahkan sudah saling mengenal sejak masih di cabang perut. Satu-satunya yang salah hanyalah koneksi buruk otak Ariana dalam memproses informasi.

Memilih tidak peduli. Marvelo mengambil tempat parkir di depan minimarket 24 jam. "Turun."

Ariana memekik kegirangan. Kesampaian juga keinginannya jalan jajan mengusir bosan. Meski ke minimarket, lebih baik ketimbang ditemukan menggelepar dengan perut keroncongan atau membakar rumahnya sendiri.

"Lo jangan kemana-mana, nanti gue susah nyarinya!" ujar Marvelo.

Lihat selengkapnya