Solo, 2000.
Pagi pertama masuk sekolah di milenia baru itu aku belajar bahwa banyak sekali yang bisa berubah dalam hitungan jam. Dalam hitungan detik juga bisa, tapi khusus untuk pengalamanku waktu itu ya hitungan jam.
Aku ingat bagaimana isi kepalaku penuh dengan Balin, Balin, Balin… Balin. Hanya Balin. Mataku segera terbuka dan langsung segar karena nama itu. Kakiku cepat turun dari tempat tidur dan berjalan langsung ke kamar mandi karena nama itu. Aku sisir rambutku seratus kali sampai jatuh dan licin, karena nama itu.
Aku mencoba memainkan ulang rangkaian aktifitas dan pikiranku sejak bangun pagi itu saat kududuk di hadapan ibu hanya satu setengah jam kemudian. Diantara isak tangis ibu yang tak bisa kuhentikan, apapun upayaku. Mengelus punggungnya, memeluknya—dengan canggung, kami tak pernah lagi berpelukan sejak aku SD—membujuknya untuk tidak sedih, mengambilkan air minum. Aku sendiri sebenarnya meragukan segala cara yang kupakai itu. Aku belum pernah menenangkan orang yang tengah menangis sedih. Belum pernah ada orang dewasa yang menangis di hadapanku, apalagi menumpahkan tanggung jawab penghiburan padaku.
Jadi aku diam dan menyibukkan pikiranku sambil berlagak siap mendengarkan apapun yang keluar dari mulut ibuku.
“Ayahmu,” isaknya. “Nggak pernah berubah,” katanya.
Aku diam, menunggu lanjutannya yang tidak langsung menyambung kalimat ibu yang terpatah-patah. Pikiranku kembali melayang, mengingat-ingat saat akhirnya aku berpapasan dengan Balin di koridor ruang-ruang kelas 3 tadi pagi. Aku tahu dia biasa datang pagi. Aku tahu dia biasa duduk-duduk di bangku samping kelasnya bersama tiga anak basket lainnya. Tapi pagi tadi, dia sendirian. Hawa malas rupanya masih menyelimuti sahabat-sahabatnya. Dan aku juga sendirian. Dan di koridor itu hanya ada kami berdua.
Aku berjalan dengan rasa percaya diri total. Memandang ke depan. Koridor itu seperti catwalk luas dan Balin satu-satunya penonton disana. Sebenarnya aku menimbang-nimbang apakah sebaiknya aku menyapanya. Berhenti di hadapannya, menyapanya, menanyakan liburan tahun barunya… menanyakan apakah dia tahu namaku mungkin lebih diperlukan dalam kondisi ini.
Belum sempat aku memutuskan, tas selempangku bergetar keras. Aku hampir mau membiarkannya tapi dengungnya membuat Balin—yang sudah dua meter dari tempatku berdiri menoleh ke arahku. Tentu saja aku hanya melihatnya dari sudut mataku. Masa iya aku memelototinya. Itu sudah jadi tugas naluriku.
Aku menyesal lupa mematikan suara telepon. Menyesal membawanya ke sekolah. Apa Balin tipe pengadu? Apa dia akan bilang-bilang ke guru piket hari ini kalau dia melihatku bawa hp? Aku lebih takut Balin menganggapku sok karena bawa-bawa hp ke sekolah. Tapi aku punya alasan kenapa diam-diam menyimpan hp di kantung dalam tas. Dengung tak mau berhenti. Aku panik merogoh ke dalam tas untuk mengail benda terkutuk itu. Tak sadar kalau aku berdiri tepat segaris depan Balin.
Nama penelepon yang muncul di layar hijau-hitam semakin membuat perasaanku tak karuan. Ibu belum keluar kamar saat aku berangkat sekolah tadi. Kata Bi Srini, ibu minta tak dibangunkan. “Kayanya nggak enak badan,” tambah Bi Srini. Ya sudah, aku berangkat tanpa pamit padanya.
Jeritan histerisnya saat kutekan tombol terima panggilan tidak mewakili kata sakit. Sakit hati, mungkin sekali. Tapi bukan sakit-sakit yang membuat fisikmu jadi lemah lunglai terkapar di tempat tidur.
“TRIIIISSS…..” spontan aku menjauhkan hp dari telingaku.
Aku memercepat langkah menuju kelas. Suara isak ibuku sahut-sahutan dengan suara langkah sepatuku. Jantungku berdegup. Entah karena malu pada Balin atau khawatir dengan ibu. Atau dua-duanya.
Selama sekitar dua menit rasanya aku hanya diam mendengarkan ibuku terisak dan menyebut namaku, setelah berkali-kali kubertanya ada apa tapi tak kunjung dijawabnya.
“Kamu pulang ya,” katanya pada akhirnya. “Kasihan ibumu,” seolah yang disebutnya itu orang lain, bukan dirinya sendiri.
Setengah jam kemudian aku duduk di kursi ruang TU. Ini konyol sekali. Aku harus menunggu sampai petugas TU datang supaya aku bisa izin pulang, yang kemudian menyuruhku ke ruang BP untuk mengurus absen. Semua teman-temanku yang lewat di pintu ruang BP melongok penasaran. Aku tahu apa yang ada di benak mereka. Kenapa aku—yang sama sekali tidak pernah dipanggil ke ruang BP karena membolos satu mata pelajaran pun—hari ini, di hari pertama masuk setelah libur semester pertama kemarin, sudah duduk di hadapan guru BP yang paling berjiwa polisi di sekolah kami.
Menceritakan yang sebenarnya, bahwa ibuku menelepon ke hp yang secara ilegal kubawa ke sekolah untuk memintaku pulang, sama saja seperti menyerahkan diri ke kantor polisi. Aku tidak merasa sepenuhnya bersalah. Jadi kubilang ibuku memang menyuruhku membawa hp karena beliau sedang sakit dan fungsi hp itu memang untuk menunggu kabar dari ibu di rumah.
Diluar dugaanku, raut Bu Ani langsung berubah. Aku lega ketika melihat ekspresi lega di wajahnya. Meskipun sedikit jengkel ketika dia menelepon ke rumahku untuk mengecek silang.
“Kamu bawa kendaraan?” tanyanya setelah menutup telepon.
Aku menggeleng.
“Antar jemput?”
Aku mengangguk.
“Sudah minta jemput dari rumah?”