Dean selalu merasa kalau dunia ini tidaklah salah, sebagaimana kata mereka yang sering menyalahkan keadaan. Jika setiap orang bisa memberikan cinta ke setiap rumah yang membutuhkan tentu itu akan menjadi sesuatu yang menyenangkan. Hari itu adalah hari yang buruk baginya. Hari pertamanya di kelas 3, dan ia sudah ditindas oleh teman-teman kelasnya. Dilihatnya sebuah tas yang sudah mengambang di kolam. Tentu saja, Dean sudah tahu siapa pelakunya. Tak lain dan tak bukan adalah orang paling besar badannya di kelas, David Agustin. Anak dari bos perusahaan Agustin yang bergerak dibidang mebel dan peralatan rumah tangga.
Sejak awal kemunculan Dean, orang yang menjadi musuhnya sudah ia prediksikan. Dean adalah orang yang cepat menangkap, di rumahnya pun ia terbiasa untuk belajar. Kedua orang tuanya bangga padanya, membuatnya memliki motivasi untuk menaikan taraf hidup mereka ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Ayahnya adalah pegawai swasta yang memiliki gaji 2 kali UMR. Sehingga kehidupan Dean sebagai anak tunggal benar-benar terjamin. Tak ada yang perlu ia cemaskan soal pembiayaan meski saat ini ia sudah masuk daftar beasiswa karena berhasil duduk di peringkat 1 saat kelas 2. Namun semua itu hanyalah masa lalu. Ayahnya dipecat, dan ibunya terlalu stress saat mencoba mempertahankan kapal rumah tangga yang sudah hampir karam ini. Kini yang tersisa hanya Dean sendiri.
“Si David lagi yang ngerjain?” ucap lelaki berbadan tinggi yang datang menghampiri Dean.
Dean tak berkata, sejujurnya ia ingin menangis tapi ia tahu kalau itu takkan menyelesaikan masalah. Seluruh buku pelajarannya basah sehingga ia akan sulit belajar di rumah. Beruntungnya ia tak membawa buku kesayangan yang diberikan ayahnya beberapa tahun lalu.
Mungkin aku tak perlu membawanya lagi.
Dean tak menjawab pertanyaan Dwicky dan langsung menarik tasnya yang basah itu dan membawanya pergi. Dean kecil tahu kalau tak ada gunanya membalas David, ia akan selalu begini, terus begini, sampai Dean bisa berhenti sekelas dengannya. Dengan bersedih, Dean berjalan pergi meninggalkan Dwicky yang terlihat cemas. Ia tau siapa yang melakukannya pada Dean, sebelum ini temannya sempat mendapat surat ejekan di loker kelas bersamaan dengan hilangnya sepatu Dean beberapa waktu lalu. Meski begitu Dean tetap tak mau bercerita soal apa yang ia rasakan. Dean hanya diam lalu membuang surat ejekan itu ke tempat sampah. Sepatunya yang hilang pun dicarinya sendirian di semak-semak belakang sekolah tanpa mengajak Dwicky. Beruntungnya Dwicky yang mengetahui kalau sahabatnya sedang mencari sepatu langsung ikut membantunya. Sampai akhirnya mereka menemukan sepatunya kotor sedang tersendat di sebuah got.
Dwicky ingin sekali membantu meringankan beban sahabatnya itu. Namun Dean tak ingin menyebabkan kesulitan bagi temannya. Dean merasa kalau hal ini adalah salahnya, ia merasa tak pantas jika meminta tolong temannya atau orang lain agar masuk ke masalahnya. Dean berjalan sendiri menuntun sepedanya. Ia tak berniat sedikitpun pulang ke rumah namun bisa tak memiliki tempat kembali. Hal yang bisa ia harapkan hanyalah hujan yang tiba-tiba turun dan membasahi seluruh tubuhnya, agar dia tidak perlu repot-repot menjelaskan hal ini ke ibunya.
Sesampainya di rumah, seorang wanita dengan sendok sop sudah menanti di depannya. Sorot matanya tajam, tertuju langsung pada Dean yang sudah basah punggungnya.
“Kenapa pulang sore?” tanya wanita itu dengan nada ketus.
Dean tak ingin menjawab, ia kesal pada dirinya. Kenapa ia begitu lemah hingga tidak bisa melindungi diri. Ia kesal pada ibunya, kenapa orang tuanya tak mau mengerti kalau anaknya ditindas di sekolah. Ia kesal pada David. Kenapa ia tidak hentinya mengganggu kehidupannnya. Ia kesal pada semuanya, ia kesal, ia kesal. Amarahnya bercampur aduk dalam dirinya, merubah dirinya menjadi sosok kepompong yang sedang mengubah apa yang ada di dalamnya menjadi sesuatu yang lain.
“Jawab Dean, kenapa pulang sore?”
Dean menggretakan giginya.
“Apa peduli mama!?”
Dean berlari masuk tanpa mempedulikan ibunya dan langsung masuk kamar. Di luar sana terlihat ibunya menangis. Tanpa suara, hanya air mata yang mentes sembari menggertak giginya. Ia tahu ini salah, tapi suaminya sudah membuatnya gila. Tak hanya Dean, ia juga menginginkan kembali ke masa itu, saat mereka masih bisa bahagia bersama.
**
Dean menatap kosong ibunya yang sedang mengobrol dengan pamannya. Tadi siang saat ia sedang sekolah tiba-tiba wali kelasnya mengizinkannya pulang karena pamannya menjemput untuk membawanya pergi ke rumah sakit. Ibunya sudah sadar setelah beberapa minggu dalam kondisi koma. Minggu-minggu itu terlewat begitu saja, bagaikan mimpi di musim panas, ia sama sekali tak merasakan rindu pada wanita yang menjadi orang tuanya. Kebalikannya, Dean merasa kalau dunia bebas yang ia nikmati beberapa minggu ini tidak akan bisa ia nikmati lagi.
Ia mulai mempertanyakan apakah bisa seorang anak membenci ibunya. Apakah bisa seorang anak membenci ayahnya. Lalu wajarkah itu, Dean tak tahu jawabannya. Namun ia tak peduli, karena ia memang tidak menyukai ayah dan ibunya. Keduanya hanyalah beban keluarga, namun ibunya masih sedikit ia sukai karena meski sering mengomeli dirinya. Ibunya membuka jasa setrika agar kompor dapur tetap menyala. Namun karena itu pula membuat ibunya menjadi stress karena setrikaan yang menumpuk dan bayaran yang rendah.
Melihat ibunya bisa tersenyum sambil mengobrol dengan pamannya membuatnya sedikit bahagia, ia melihat adanya harapan untuk bisa kembali ke saat mereka bahagia bersama, meski itu tanpa ayahnya karena ia tahu orang itu pasti takkan kembali. Ayahnya adalah pecundang, begitulah yang Dean pikirkan.
Usai temu kangen dengan ibunya, Dean dan paman pergi ke ruangan dokter yang ingin menjelaskan tentang penyakit yang diderita oleh ibunya. Mereka diantar ke sebuah ruangan yang berisikan meja dan papan tulis. Di sana ada seorang lelaki berjas putih yang menunggu mereka. Rambutnya hitam dengan tanda pengenal bertuliskan “Dr. Arya Kurnia” menempel di sisi kiri jas putihnya.
“Bapak suaminya ibu Mariam?” tanya dokter itu.