Dean bangun dengan tubuh berat. Ia begitu malu dengan mimpi semalam hingga membuatnya tak mau beranjak dari kasur. Sebuah mimpi aneh yang terdapat adegan seperti film porno yang ia tonton beberapa hari yang lalu dengan teman-temannya. Namun aktornya adalah Naomi dan dirinya. Tentu saja Dean langsung mengecek apa yang ada di dalam celananya, dan benar saja. Basah tapi tidak seperti mengompol, Dean sudah mempelajarinya di sekolah. Seperti yang dikatakan gurunya, jika kejadian ini terjadi maka tanyakanlah orang tua di sekitarnya. Dalam hal ini, yang bisa ia tanyakan adalah pamannya.
Setelah menceritakan apa yang dialaminya, pamannya mengusulkan untuk mandi dengan shower. Selama itu pula ia mulai berpikir apakah maksud mimpi itu semalam. Kenapa ia merasakan perasaan yang luar biasa, tak bisa terpikirkan, tak tergambarkan. Seperti ia sedang berada di puncak gunung everest meskipun ia tak pernah mendakinya.
Bagaimana cara mimpiin itu lagi?
Dean bertanya pada dirinya sendiri, akan tetapi ia tak mampu menemukan jawabannya karena ia sendiri tidak tahu cara mendapatkannya. Hingga akhirnya terbesit sebuah ingatan kemarin. Saat itu matahari setengah terbenam dengan wanita tercantik yang penah ia temui ada di hadapannya. Naomi, wajahnya sangat dekat. Bibir mereka saling menempel, berciuman sepeti apa yang ada di film romantis. Dean tak pernah melihatnya, saat masih kecil ayah dan ibunya selalu menyuruhnya menutup mata saat menonton film seperti itu. Namun bukan berarti ia tak tahu apa itu ciuman.
Mungkin saja ini karena aku ciuman
Dean kecil berfantasi, jika memang benar itu karena ciuman itu maka Dean harus menyerah. Ia tak mungin bisa mendapatkan kesempatan emas itu dua kali. Namun yang lebih penting ia harus mulai mencari cara. Kemarin sebelum Naomi menciumnya ia sempat bersumpah untuk membawa gadis itu ke Paradis. Karena berhubung hari ini hari minggu, ia tak perlu sibuk ke sekolah. Seusai mandi, Dean kecil mengambil sebuah karton yang ada di lemarinya dan menempelkannya ke lantai dengan selotip agar tidak menggulung.
Tangannya bergerak menggoreskan pensil di atas kertas karton itu untuk menggamar peta daerah rumahnya menurut ingatannya. Ia tinggal di sebuah kota terpencil, masih berdekatan hutan yang belum pernah ia jamah sama sekali. Segera ia mengambil sebuah buku dari lemarinya, di depannya tertulis Proyek Kebahagiaan. Ini adalah buku yang dulu pernah ia tulis, meski baginya yang sekarang buku ini adalah coretan anak-anak. Akan tetapi mungkin ia bisa menemukan paradis lewat buku ini.
Saat membukanya, tulisannya terlihat lebih kacau dari yang ia kira. Namun ia masih bisa membacanya. Lembaran demi lembaran buku yang berisikan coretan krayon ia baca, terkadang ada peta sederhana atas penjelajahan yang pernah ia lakukan. Hingga akhirnya ia mencapai sebuah ending yang bertuliskan.
“aku tak bisa menemukannya”
Dia ingat, ia tak pernah menyelesaikan jurnal petualangannya. Dahulu ia sangat senang berkeliling wilayah rumah, menjelajah sendirian. Berkeliling kota yang sempit ini dengan kedua kakinya. Ia mengingatnya, tulisan ini tidak pernah sempat ia tamatkan karena hari di mana ayahnya berubah datang lebih cepat dari rencana yang ia susun di buku ini. Sambil membaca catatan yang dulu ia buat, Dean menandai tempat-tempat yang pernah ia curigai sebagai Paradis. Dean menandai 5 titik berbeda, dan jaraknya pun tidak dekat sama sekali.
Dean mengemasi barang-barangnya lalu berangkat dengan sepeda kesayangannya. Ia mengkayuh sepeda itu menuju ke rumah sahabatnya, Dwicky. Ia berniat mengajak semua temannya agar ikut mencari, namun orang yang bisa menggerakan semuanya hanyalah Dwicky. Baginya, Dwicky adalah sosok pemimpin yang mampu melakukan apapun. Dean berhenti di sebuah rumah yang tidak terlalu besar, sederhana namun terlihat nyaman untuk ditinggali. Dengan tangan kecilnya Dean mengetuk pintu yang terbalut cat putih itu, kemudian terdengar suara anak lelaki yang ia kenali. Tak lama kemudian pintu pun terbuka dan terlihat sosok Dwicky dengan rambut acak-acakan dan wajah yang baru bangun tidur.
“Lah, ngapain ke sini? Tumben amat main, biasanya kudu disamper” ucap Dwick.
Dean menjelaskan tentang apa yang ia inginkan tentang mereka berpetualang untuk menemuka Paradis. Dwicky bukanlah anak yang pintar, jadi butuh sedikit waktu agar Dwicky bisa memahami semuanya.
“Oke, jadi intinya aku harus manggilin Andre, Wira, Fahmi, Rian buat ikut kita nyari Paradise ini?”
Dean mengangguk.
Dwicky mengangkat alisnya sambil mengelus dagunya dengan jari telunjuk. Ekspresi menyebalkan itu terus ia lakukan selama beberapa menit membuat Dean kebingungan. Tiba-tiba saja Dwicky membanting pintunya lalu terdengar langkah kaki berlari ke sana kemari. Tak lama kemudian Dwicky keluar dengan baju rapih sambil membawa sepeda lipatnya.
“Yok jalan. LOST PARADISE i’m coming”
Dean tahu kalau temannya ini cukup bodoh untuk mengira Paradis yang ia maksud di samakan dengan Paradise dari bahasa inggris. Tapi tak apa, baginya Paradis adalah sesuatu lebih bermakna dari surga itu sendiri. Namun jika temannya menyetujui usulan pencariannya, itu saja sudah cukup. Mereka berdua pun pergi menuju ke 4 rumah teman mereka untuk menjelaskan hal yang sama demi pencarian berjalan dengan lancar..
Tak terasa matahari semakin tinggi, Dean dan kawan-kawan akhirnya berkumpul untuk memulai pencarian mereka. Dengan sepedanya mereka menggoes menuju ke titik pertama yang berada di dekat toko buku yang jaraknya tidak jauh dari sekolah mereka. Akan tetapi sesampainya di sana hasilnya nihil. Mereka pun melanjutkan perjalanannya ke tempat kedua namun hasilnya sama saja, hingga akhirnya senja pun menjemput mereka dan inilah tempat ke 4, tempat terakhir untuk hari ini. Peluh keringat membasahi tubuh mereka, termasuk Fahmi dan Andre yang sudah mengeluh sejak tadi siang.
“Dean sebenernya kita ke mana sih?”
“Emang paradis tuh tempatnya kaya apa?”
Keluh mereka berdua. Dean sendiri tak bisa menjawabnya, karena ia sama sekali tidak mengetahui rupa Paradis yang sebenarnya. Ia hanya tahu dari cerita yang ada di bukunya tapi semakin ia tumbuh ia juga semakin sadar kalau tempat seaneh sungai susu itu pasti tak ada. Namun Dean tahu betul, Paradis itu ada meski tidak ada sungai susu di sana. Mendengar keluhan teman-temannya, Dwicky yang malah panas karena teman-temannya mulai meragukan insting Dean. Ia percaya betul kalau Dean tak pernah berbohong.
“Udahlah ikutin aja napa, Dean loh yang nyari. Pasti ada sesuatu di antara ini”
Mereka pun diam kembali, meski tak menaruh dendam pada Dean maupun Dwicky, dua-duanya kesal karena hari minggu mereka menjadi terbuang sia-sia. Tempat ke 4 ini letaknya ada di sebuah gang yang tak pernah mereka jelajahi. Bahkan saat sampai di sana Dean pun ragu kalau ada orang yang tinggal di sini. Ternyata gang tersebut hanyalah sebuah jalan untuk masuk ke sebuah rumah tua yang terhimpit oleh 2 supermarket. Suasananya memang seperti tak berpenghuni tapi lantainya terlihat bersih seperti ada yang mengurusnya.
Di halaman rumah ini terlihat sebuah poster festival kembang api di temboknya. Seorang kakek yang ada di dalam sana mengintip gerombolan Dean yang menatapi poster tersebut dan menghampirinya.
“Jarang-jarang ada anak-anak ke sini. Pada mau ngapain?”
Suara si kakek yang tiba-tiba membuat keenam jantung mereka seakan mau copot. Terutama Andre yang wajahnya langsung pucat bagai melihat hantu. Kakek itu beruban di kepalanya dengan wajah penuh keriput. Tangannya juga terlihat banyak luka bakar yang sudah sembuh dan membekas. Dwicky selaku orang yang bertindak seperti pemimpin mereka pun berceletuk.