Air langit turun sebelum fajar, menelan kota ini dalam kemuraman yang dibawa bersamanya. Wajahnya murung. Rambut tak disisir dan baju olahraga yang berantakan, kelas olahraga ditiadakan hari ini dikarenakan cuaca. Entah Dean bisa senang atau tidak, karena mungkin hanya kelas olahraga lah yang mampu menariknya keluar sementara dari pikiran suram yang terus menghantuinya. Langit lebih gelap dari biasanya, dan ia hanya bisa menatapnya dari balik kaca kelas.
Kepalanya penuh dengan hal yang ia temukan sore kemarin. Sebuah pulau nusantara yang jauhnya sampai harus melewati laut. Pulau yang ia yakini adalah paradis yang ia cari. Bagaimana cara seorang anak SD bisa mencapainya. Sebenarnya ia juga tak tergesa-gesa jika berangkat sendirian. Janjinya untuk membawa Naomi pergi, apa ia bisa mewujudkannya? Ia pun mempertanyakan hal yang sama.
“Oi, mau ikut ke kantin ga?” tanya Dwicky dari depan kelas.
Dean menoleh, menatap Dwicky dengan mata iba yang tak tahu harus berbuat apa. Ia tak mau melanggar janjinya dengan Naomi, bahkan jika itu hanya sebuah jari kelingking sekalipun. Ia tak mau dibilang pembohong oleh wanita yang ia cintai. Dean kebingungan dalam dilema hati yang tak kunjung usai. Dirinya seakan diterpa badai akan beratnya kata yang ia buat pada Naomi dan janjinya pada dirinya sendiri.
Aku harus pergi
Hatinya berteriak, Dean berlari melewati Dwicky yang tak mengerti tentang apa yang terjadi pada temannya. Lorong begitu sepi dengan murid yang masih belajar di kelas, ia tak tahu harus pergi ke mana tapi ia tahu ia harus mengeluarkan ini. Sekolah Dean memiliki 4 lantai dengan rooftop. Itulah tempat yang Dean incar, tanpa tahu apa yang ia ingin lakukan di sana. Tempat itu selalu terkunci, Dean pun tahu itu tapi sekali saja ia ingin mengeluarkannya. Dean ingin berteriak, agar semua beban yang diterimanya beberapa hari ini bisa menguap ditelan sang hujan.
Lorong yang panjang berhasil ia lewati dengan piluh keringat, kini tangga demi tangga harus ia panjat demi mencapainya. Badannya yang pendek membuat anak tangga kecil sekalipun berhasil melumpuhkan tubuhnya. Kakinya yang jarang dilatih itu memberontak dan membuatnya jatuh tersungkur tepat saat kedua kakinya menginjak lantai 2. Dean yang terjatuh melihat sebuah sepatuh putih usang yang pernah ia lihat. Itu adalah sepatu milik perempuan, dan orang yang memakainya adalah Naomi.
“Eh, Dean? Kamu gapapa?”
Dean membalikan tubuhnya seperti daging di atas tungku. Merasakan dinginnya lantai bercampur dengan keringat punggungnya membuatnya kembali ke alam sadar. Naomi masih di sana kebingungan tentang apa yang terjadi pada temannya ini.
“Na-Na-Naomi!!”
Tanpa merasakan sakit di kakinya, Dean langsung melompat berdiri agar terlihat kalau ia baik-baik saja. Tak ingin terlihat lemah, itu adalah kunci menjadi pria bukan?
“Kamu ngapain sih ampe bisa jatuh gitu?”
“Yahh, kan pelajaran olahraga ga ada, jadi aku mau olahraga aja sendiri”
Dean berbohong, tentu saja seperti yang selalu ia lakukan. Ia hanyalah pembohong yang cuma bisa berjanji. Suasana sedikit canggung bagi Dean karena ciuman itu, namun sebisa mungkin ia sembunyikan salah tingkahnya agar Naomi tidak merasa jijik saat berbicara dengannya.
Mendengar jawaban Dean memancing tawa kecil Naomi yang ditutupi jari telunjuknya. Wajahnya yang manis itu meruah mengisi ulang Dean, menghentikan dirinya untuk meledakan diri. Meredam semua teriakan yang ada di sudut hatinya. Naomi, dialah seorang yang ditakdirkan untuknya, Dean yakin itu tanpa sedikitpun keraguan.
“Hehe, kamu ada ada aja. Yasudah kalo gitu, aku mau ke kelas dulu ya”
Naomi berjalan melewatinya, angin cinta yang berhembus ke dalam tubuhnya pun kembali. Dean berbalik lalu memanggil namanya sekali lagi.
“Naomi!!”
“E-eh, kenapa?”
Bunyi rintik hujan menjadi pengisi suara dari kedua anak yang saling memandang. Entah ini cinta sebelah tangan atau tidak, Dean tak tahu jawabannya. Selama Naomi tak memintanya untuk pergi, ia akan terus berada di sisinya.
“Apa aku seorang pembohong?”
“Eh?”
“Menurutmu, apa aku seorang pembohong?”
“...”
“Nggak kok, menurutku kamu orang paling jujur” jawabnya dengan senyuman.
Namun itu tak membuat Dean senang, kebalikannya. Seakan mendung kembali mengantarkan teriakannya kembali ke dalam tubuhnya. Hatinya sempit, Naomi meninggalkan Dean sendiri dalam kegelapan dirinya. Ia tahu kalau itu adalah pertanyaan retorik, kenapa pula ia harus melontarkan pertanyaan konyol seperti itu. Namun ia tak mengira jawaban itu akan keluar dari mulut gadis yang ia cintai. Jika Naomi menjawab kalau ia pembohong itu akan lebih mudah. Kini beban itu benar-benar ia emban secara penuh.
“Ia percaya padamu”