Cahaya matahari merayap dari sela teralis jendela, mengintip Dean dan Ibunya yang saling menatap di rumah usai keputusan dokter yang merawat jalankan ibunya karena dirasa tak perlu ada rawat inap intensif. Pamannya ada di sana, Dean yang baru pulang dari sekolah pun agak sedikit kaget melihat ibunya sudah pulang.
“Dean, mama mau bicara” ucap wanita paruh baya itu tegas.
Dean terdiam di sana, masih berbalut seragam sekolah.
“Mama pengen cuma kita aja, papa udah nggak di rumah lagi. Kamu mugkin belum ngerti sekarang. Nanti pada saatnya mama jelasin”
Dean mengerti semuanya, bagai air mengalir di sungai. Semua kata-kata ibunya tersalurkan langsung tanpa perlu memproses. Dean sudah paham apa yang terjadi namun ia tak bisa berkata apa-apa lagi. Dean sendiri sudah tidak terlalu menyukai ayahnya, dia seperti orang yang berbeda baginya. Namun entah kenapa di dalam sana, di dalam hati Dean. Sebuah luka seakan tergores tanpa sepengetahuannya.
“Ya, tak apa"
“Dean bisa melakukannya sendiri”
“Tanpa papa”
“Atau pun Mama”
Sisi lain Dean ikut menyaut dalam hatinya, namun itu tak ia sampaikan karena tak mungkin juga. Dean membenci keluarganya yang sekarang, Mungkin satu-satunya orang di rumah ini yang ia sukai hanya pamannya. Dean pergi keluar tanpa pamit dan salam, ia hanya berpesan pada pamannya tadi pagi sebelum berangkat sekolah kalau ia ingin pergi ke suatu tempat sepulang sekolah. Namun ternyata pamannya menjemputnya bahkan sebelum bel pulang berbunyi.
Genangan air bercipratan kala ban sepeda milik Dean melintas, ugal-ugalan ia membawanya tanpa memikirkan apa yang ada di depannya. Emosinya yang meluap-luap terlampiaskan dalam setiap kayuhan dari kakinya. Seakan angin yang dilintasinya berbicara tentang apa yang Dean rasakan. Dean melewati taman tempat ia biasa melihat Naomi menangis, dan kali ini ia tidak ada di sana. Teringat janjinya pada Naomi soal hari ini mereka ingin pergi ke tempat kakek penjual kembang api
Dean tidaklah kuat seperti yang Naomi katakan. Dia hanya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Semua orang menyembunyikannya, bahkan ia yakin kalau Naomi, Dwicky, dan semua temannya juga begitu. Saling menyembunyikan satu sama lain agar tidak saling melukai, hal ini justru memperjelas kalau Naomi tidak mampu melihat Dean sepenuhnya. Sehingga untuk menjadi apa yang Naomi inginkan. Dean harus bisa menahan ini semua.
Sejenak, Dean memutuskan untuk berhenti di depan sebuah kursi taman tempat ia pertama kali melihat Naomi menangis. Sekaligus tempat di mana ciuman pertama miliknya direnggut oleh gadis itu. Dean hanya diam di sana, menatap tanpa suara. Diam bukan tanpa arti. Di hatinya ia bersumpah.
Mulai hari ini, aku akan menjadi dewasa
Dean kembali menaiki sepedanya lalu berangkat menuju ke rumah kakek yang mana teman-temannya sudah menunggu di sana, termasuk Naomi.
“Ke mana aja sih, lama banget” protes Rian.
“Iya nih, untung ga ujan lagi” Andre menimpali.
Dean hanya terkekeh mendengar protes teman-temannya. Secara jujur, ia tak peduli sama sekali dengan itu semua. Ia hanya menatap Naomi yang rapih dengan baju one piece putih yang membalut tubuhnya. Tak lupa topi musim panas ikut menambah kecantikan paras ayu gadis itu.
Dean tertegun, tak bisa berkata-kata kala mata mereka bertemu. Dean yang sadar kalau Naomi juga melihatnya pun membuang muka, menahan malu. Sementara Naomi terkekeh kecil menatapnya. Dari dalam rumah sang kakek, muncul sosok pria muda berjalan keluar dengan berpakaian baju kotak-kotak layaknya pengusaha muda. Pemuda itu menoleh dan didapatinya Dean dan teman-temannya sedang bersiap memindahkan petasan ke dalam mobil. Mata Dean menyorot, melepaskan diri dari Naomi yang ada di depannya. Penuh kebencian, penuh rasa tidak suka pada lelaki itu.
"Oalah, jadi kalian yang kemarin ayah ceritain. Pada kelas berapa ini?” tanya lelaki berambut klimis itu.
“Masih kelas 6 om kita mah” jawab Wira semangat.
“Jangan panggil om atuh, kakak aja. Masih seumuran kita”
“Masa sih om, mukanya udah kaya om om juga. haha” Dwicky menjawab yang kemudian ditimpali oleh gelak tawa teman-temannya.
Hanya Dean lah yang tidak menanggapi anak si kakek dan melanjutkan berkemas. Tak ada yang menyadarinya kecuali Dwicky namun ia pun tak bisa berbuat banyak. Dwicky tahu persis apa yang terjadi pada Dean karena dialah yang pertama kali mengetahui soal perceraian itu. Dia tak memiliki pemikiran lain mengenai temannya kecuali hanya tebakan kalau Dean sudah mengetahui kalau ayahnya melakukan kekerasan pada ibunya dan mereka bercerai.
Meski begitu, Dwicky tak tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam isi kepala sahabatnya ini. Perang pemikiran antara dia dan dirinya sendiri, Dean menolak untuk percaya tentang perceraian dan pengkhianatan itu tapi kenyataan berkata sebaliknya. Seakan berlindung dibalik topeng ketidakpeduliannya Dean mengiris hatinya dengan pisau sedikit demi sedikit. Membuatnya terhanyut dalam pemikirannya sendiri tanpa memperhatikan orang lain.
“Nama kakak Andika, makasih ya udah jagain ayah. Pas dateng tadi pagi kaya semangat banget dia”
Oh
“Kakak waktu seumuran kalian juga kaya gini. Suka keluyuran, main, tapi sama ayah dulu kalo malem bikin petasan”
Oh
“Dulu ayah pas ngasih tau tuh tempat juga bawa petasan kaya gini kita”
O