Lampu kuning remang dengan tembok putih mengelilinginya. Aroma khas kopi menyeruak mengisi seisi ruangan kafe. Hujan di luar membuat suasana musik lo-fi yang diputar di dalam sini terasa lebih nyaman dari biasanya. Perpaduan yang luar biasa memang, begitulah yang dinikmati oleh semua orang di sini. Membaca buku sambil menikmati kopi, menulis novel, atau mungkin hanya sedang nongkrong dengan teman mereka.
Kursi tinggi yang diduduki oleh para pelanggan, ramainya suasana kafe jelas berbeda daripada sebulan lalu saat ia baru sekali membukanya. Kini ia memiliki karyawan untuk membantunya melayani pelanggan karena kewalahan dengan jumlahnya yang semakin meningkat saja. Dinda dengan apron putihnya menarik tuas mesin press usai menaruh cangkir di bawahnya. Kopi hitam yang mulai menjadi buah bibir di sekitar sini pun mengalir mengisi ruang kosong pada cangkir. Di hadapannya terlihat sosok pria berambut klimis dengan wajah terbilang tampan. Dia lah Agung, yang sudah menjadi langganan di sini sejak sebulan lalu.
“Ini kopinya, cobain sama apa kaga kaya dulu” ucap Dinda menaruh secangkir espresso.
“Dicobain nih, makasih ya” jawab santai Agung.
Ia menikmati aroma kopinya kemudian menaruh mulut cangkir di bibirnya. Membiarkan hangatnya kopi itu dicicipi oleh lidahnya, membasuh tenggorokannya yang kering. Seperti biasa, rasanya benar luar biasa. Asam pahit espresso memang paduan terbaik untuk menghilangkan penat dunia kerja sejenak. Agung menatap sekitar, kafe ini sudah sangat berkembang dibandingkan saat ia pertama ke sini, serta di hadapannya. Dinda, kini ia sudah mengenalnya dan mampu mengobrol dengannya.
“Enak loh, tapi kok enakan yang dulu ya, kaya ada yang beda. Kamu ganti kopi bukan?”
“Enggak ahh, masih yang sama. Kamu aja kali yang ngerasa beda” Dinda masih sibuk dengan mesin press miliknya untuk membuat kopi lainnya.
"Tapi emang beda loh, dulu waktu aku ke sini kita gak ngobrol, terus masih sepi banget kafenya, kamu juga gaada karyawan kaya sekarang”
Tak lama mereka mengobrol, suara pintu terbuka dengan sosok gadis muda di sana datang dengan payung dan jas hujan berwarna kuning. Dibukanya semua perlengkapannya dan menaruhnya di tempat payung khusus yang sudah disediakan di dekat pintu. Gadis itu berseragam putih abu selayaknya anak SMA.
“Maaf kak telat, ujannya gede banget” ucap gadis itu.
“Yaudah gapapa, Cuma telat dikit kok. Kamu cepet ganti apron gih, aku udah pegel pengen gantian”
“Siap kak” gadis itu langsung tancap gas menuju lemari dan memakai apron.
Agung mengintip sedikit gadis itu, sedikit kebingungan karena ia tak pernah melihat atau tahu kalau Dinda memiliki karyawan part-time anak SMA seperti itu.
“Karyawan baru lagi nih” goda Agung.
Dinda tersenyum sekilas sambil menatap lawan bicaranya lalu pergi ke belakang sambil memberitahukan karyawannya kalau ia ingin istirahat karena sudah berada di belakang meja sejak pagi. Digantungnya apron putih bertuliskan “.Hitam” di kantung bawahnya. Dinda mengambil tas dan ponselnya lalu pergi menemui Agung.
“Ki aku titip kafe ya” pinta Dinda ke seorang karyawan yang ia tanggung jawabkan.
“Siap”
Agung menghabiskan sisa kopi di cangkirnya lalu bersiap untuk keluar pula. Mereka berjalan beriringan keluar dari kafe. Hujan yang turun masih cukup deras, namun mereka sudah memesan restoran di sekitar sini untuk makan malam. Agung membuka payungnya dan Dinda berjalan di sampingnya.
“Udah desember ya, ujannya ga karuan. Jadi gabisa jalan” keluh Dinda.
“ohh, jadi kamu nyindir aku buat beli mobil?” canda Agung yang menghasilkan pukulan lembut Dinda mendarat di lengannya.
“Apaan sih, nggak kok nggak”
Mereka membincangkan banyak hal selama perjalanannya menuju restoran. Dengan canda tawa mereka menertawakan kejadian-kejadian bodoh dalam pekerjaan mereka. Bercerita tentang apa saja yang terjadi seharian ini. Apa Agung pernah bermimpi tentang ini, tidak. Jika itu dia yang dulu, maka ia tak bisa seperti ini. Begitu juga Dinda, jika bukan karena pertemuan itu, mungkin ia tak bisa sebahagia ini. Ia pun mengingat saat-saat itu.
Di kafe yang sama, saat itu Dinda baru di PHK dari tempat kerjanya dan mendapat pesangon yang cukup untuk menyewa sebuah ruko selama 6 bulan. Tanpa pikir panjang Dinda langsung membeli peralatan sederhana untuk kafenya. Saat masih kuliah di Melbourne, ia tidak menyia-nyiakan kesempatan tinggal di tempat yang terkenal dengan sekolah baristanya itu. Ia mengambil kelas singkat selama 6 bulan untuk mempelajari membuat kopi lalu bekerja di salah satu kafe yang ada di sana.
Kini sudah 3 tahun berlalu dan sudah banyak yang ia lalui dalam hidupnya. Mungkin bekerja menjadi akuntan di sebuah perusahaan multinasional bukanlah jati dirinya. Sehingga ia tak pulang untuk memperbarui CV melainkan untuk membuat kafe pertamanya berdiri. Dinda yang kenal dengan biji kopi memilihnya langsung di pelelangan dengan menghabiskan setengah uang tabungannya sejak pertama bekerja.
Berjuang sendiri dari pagi ke pagi, mempersiapkan semuanya hingga akhirnya ia siap membukanya. Dengan bangga papan kapur bertuliskan.
“.Hitam
Buka setiap hari 08.00 – 22.00”