Kehidupan berjalan begitu cepat dari kita sadari, apa yang sudah berlalu pun tak bisa dijangkau lagi. Kita hanya bisa menjalani apa yang kita miliki sekarang, sebisa mungkin berusaha untuk tidak menyesali apa yang sudah kita tanam. Dean berpikiran demikian sambil menulis buku hariannya sambil memakai seragam putih biru. Sebuah foto ketujuh anak kecil yang mana ada Dean di sana berdiri di atas meja, meskipun gelap karena malam. Namun wajah mereka masih terlihat jelas.
Dean tentu saja takkan melupakan teman-temannya. Terutama sahabatnya Dwicky dan wanita yang ia cintai, Naomi.
“Dean, sarapan,” teriak bibinya dari ruang makan.
Dean menutup bukunya dan berlari ke ruang makan. Di sana terlihat pamannya sedang membaca koran lengkap dengan kemeja bersiap untuk berangkat kerja. Ia duduk di depan pamannya dengan sepiring roti isi dan susu. Ia menatap pamannya yang akhir-akhir ini menjadi sedikit cuek dibanding saat ia masih SD.
“Say, kamu ga berangkat kerja? Katanya udah kesiangan,” ucap Dinda sambil melepas apron dan menggantungnya.
“Santai, kamu juga mau ke cafe kan? Bareng aja nanti.”
Dean melirik cicin putih yang melingkar di jari manis bibi barunya. Baginya kedua orang ini tak lebih dari orang asing, bahkan ia masih ingat setahun lalu saat baru mereka pindah. Ia sangat membenci pamannya yang menjual rumah demi pengobatan ibunya, karena hal itu Dean jadi harus berpisah dengan teman-temannya.
“Nih, uang jajan kamu,” pamannya mengeluarkan selembar dua puluh ribuan dan memberikannya pada Dean.
Dean menerimanya seperti anak penurut sambil menghabiskan susunya. Usai berpamitan, ia pergi ke sekolah dengan menggunakan sepedanya. Mengkayuh pedal menelusuri jalan. Ia tak lagi melewati taman seperti dahulu, melewati jembatan dengan sungai, atau bahkan mendatangi rumah kakek pembuat petasan. Jalanan yang ia lewati lebih padat dengan kendaraan, banyak asap kendaraan. Terkadang jalur sepeda yang disediakan pun dilewati oleh pengendara motor.
Perpindahan Dean ke wilayah perkotaan bukan tanpa alasan, selain karena tempat kerja pamannya yang lebih dekat. Rumah sakit tempat ibunya dirujuk untuk dilakukan rawat jalan pun lebih dekat. Kafe milik bibinya pun menjadi lebih dekat pula. Dean memang bukan orang yang memikirkan hal ini, tetapi ia terkadang berpikir kenapa semua orang bisa begitu egois dengan pilihannya tanpa memikirkan dirinya. Ia tidak punya apa-apa bahkan alasan pun tak ada untuk pergi meninggalkan daerah kecil yang pernah ia sebut rumah.
Setibanya di sekolah barunya, ia disambut oleh teman-teman barunya. Sudah 1 tahun sejak perpindahan, kini ia sudah kelas 2 SMP. Dean bukanlah anak yang kurang bergaul, ia juga bukan anak yang tidak populer. Rambut hitam tebal dengan kulit putih miliknya menjadi perhitungan gadis-gadis SMP yang baru merasakan pubertas itu.
“Dean, masih surem aja pagi-pagi. Nih surat dari Niki,” ucap Ikrar.
“Niki? Surat apaan lagi?”
“Niki anak 8-C, ituloh yang rambutnya poni pakek bando. Biasalah tau sendiri, emang kalo cewe ngirim surat biasanya isinya apaan sih.”
Dean tidak tertarik dengan dunia percintaan, ia masih memiliki janji dengan Naomi. Ia pun tak ingin mengingkarinya secepat ini. Janji yang ia buat secara serius. Penuh keyakinan, tanpa kebohongan. Meski itu hanyalah janji yang dibuat anak 11 tahun. Ia tak ingin mengingkarinya.
“Balikin, bilang aja si Dean mau fokus belajar,” celetuknya malas.
“Lagi? Serius ini? Dean ini udah 3 kali loh seminggu ini, masa mau ditolak juga?”
“Baru minggu ini kan? Kalau diitungin setahun juga aku udah lebih dari itu. Kaya biasa aja balikinnya,” jawabnya sambil mengganti sepatunya dengan sepatu sekolah di loker.
“Kalau gini terus lama-lama ilang dah tuh masa-masa indah di SMP.”
Dean yang udah mulai paham ke mana obrolan sok bijak temannya ini pun memotong omongan Ikrar sebelum melebar ke mana-mana.
“Kau sendiri? Sama si Ai udah ada perkembangan belom?”
Dean melirik Ikrar sejenak untuk memastikan apa ia memakan umpannya atau tidak. Benar saja mata lelaki itu langsung berbinar begitu ia menyinggung topik itu.
“Jelas dong, kemarin kita makan mie ayam berdua.”
“Bohong,” jawab Dean separuh hati, ia hanya ingin memancing temannya saja.
“Beneran elah, sumpah dah ini mah ga bohong jadi kemarin kita tuh – “
Dean tak mendengarkan segala omongan Ikrar dan fokus berjalan dengan kepala ringan. Sudah satu tahun ini ia tak mendengar sisi gelapnya lagi. Entah karena kini ia sudah bahagia atau karena tidak ada beban pikiran lagi, ia pun tak tahu. Hanya saja terkadang ia bersyukur bisa pindah dari sekolah itu dan jauh dengan Naomi. Namun terkadang ia juga merasakan rindu ingin bertemu dengan gadis itu kembali.
Ia merasakan berat janji itu perlahan menghilang saat ia tiba di kota baru ini. Ia pun bingung apakah bisa menepati janji itu karena selama setahun ini ia tak melakukan apapun. Bahkan untuk mengumpulkan uang demi pergi ke pulau yang ia sebut Paradis itu pun tidak. Ia ingin berharap pada Naomi, tapi ia juga berharap kalau Naomi melupakan janjinya.
‘sepertinya ia sudah tak bersuara lagi’ pikir Dean.
Pelajaran dimulai seiring guru yang memasuki kelas. Terkadang dalam lamunannya ia berharap Naomi berjalan di belakang sang guru seperti pertemuan mereka dulu. Namun kini tak ada, Dean hanya bisa menelan pil pahit yang ia sebut kenyataan sambil melaksanakan tugasnya.