Paradis, sebuah negeri yang mana hanya ada kebahagiaan di sana. Di tempat itu tak ada kesedihan. Hanya ada kesenangan yang tersebar ke seluruh penghuninya. Hanya di sanalah Dean dapat menemukannya, jati dirinya yang sebenarnya. Hanya ada di paradis, Dean bisa bebas dari deritanya. Setidaknya itulah yang dipikirkan anak berusia 11 tahun ini sambil menuntun sepedanya ke parkiran sekolah.
Seperti biasa, Dean telah sampai di kelas tepat sebelum bel pertama di bunyikan. Ia adalah anak yang rajin, pandai, dan selalu tepat waktu. Namun rekornya harus selesai hari ini karena ia lupa membawa tugasnya. Entah bagaimana ia menenangkan tubuhnya yang kurang tidur itu akibat tanpa sadar ia menonton VCD yang diberikan temannya sebelum mengerjakan PR semalam. Menjadi anak panutan tak selamanya membuat ia dibanggakan. Meski guru-gurunya selalu ramah, sebagian murid ada yang iri padanya. Pasalnya Dean memiliki rekor tak terkalahkan 5 tahun berturut-turut peringkat 1 kelas. Ditatapnya sebuah meja penuh coretan bertuliskan kalimat-kalimat kebencian. Dean tak peduli, ia hanya menatapnya diam dan mencoba tidak peduli.
Pelakunya sudah jelas sekali si bocah tegap besar yang jadi favorit para guru. Penuh topeng, Dean biasa menyebutnya si bunglon, anak yang jadi musuh bebuyutannya ini sudah sekelas dengannya sejak kelas 1 SD. Badannya yang tegap besar dengan rambut pendek dan wajah garang membuatnya disegani para murid. Meski begitu nilainya selalu di atas rata-rata. Akan tetapi walau ia berbakat, tak pernah ia duduk di peringkat 1 karena ada Dean di sana. Dia adalah penindas, ketua bayangan dari geng anak nakal yang selalu menjahili Dean. Karena itulah Dean membencinya.
Aku sudah terbiasa dengan ini, pikirnya setiap kali melihat mejanya yang sudah kotor bukan main setiap pagi. Hari ini dia sangat lemas, hingga tak ada niatan untuk membersihkannya barang hanya sedikit saja. Melempar lelah, ia merebahkan tubuhnya di atas bangku yang sudah ia duduki selama 1 semester lamanya.
Pintu terbuka kembali dan dilihatnya seorang anak laki-laki selengean bertubuh tinggi. Rambutnya acak-acakan dengan baju berantakan. Dia adalah Dwicky, teman terbaik Dean sejak baru masuk SD. Ia tidak masuk, hanya berdiri di sana menatap Dean yang masih duduk di bangkunya dengan meja kotor penuh coretan. Kantung mata Dean pun terlihat jelas di wajahnya yang lesu. Memahami hal itu, Dwicky langsung keluar sejenak lalu kembali masuk kelas. Dwicky bisa dibilang geng anak nakal yang mampu menerima perbedaan. Meski nakal ia bukan tipe yang senang membully orang. Matanya memiliki tatapan yang tajam, jauh di dalam tatapannya itu terlihat kebaikan dan kehangatan dari seorang brandal yang sering dibilang tidak memiliki masa depan.
“Permisi, jasa cleaning service.” Dwicky masuk dengan membawa lap dan ember.
Ditaruhnya ember itu di samping meja Dean, ia pun menggebrak meja tempat Dean menyandarkan kepalanya.
“Ngapa tuh muka? Udah kaya ikan mati aja. Minggir, mau diberisihin.” bentak Dwicky.
“PR ku ketinggalan.”
Mendengarnya keluh temannya membuat gelak tawa Dwicky tak terbendung lagi.
“Dean Dean, gitu aja galau sih. Emang pernah liat aku ngerjain PR? Nggak kan, santai aja”
Daripada menghibur, nasihat tidak berguna dari sahabatnya itu malah membuatnya semakin galau. Mereka memang berteman akrab, akan tetapi jika dilihat dari nilai. Dean seperti berada di atas awan sementara Dwicky tenggelam di dasar palung mariana. Begitulah jauh perbedaan nilai mereka.
Tak terasa bel sekolah pun berbunyi. Dwikcy kembali ke kamar mandi untuk mengembalikan semuanya. Pak guru yang datang lebih cepat dari biasanya membawa seorang anak perempuan di belakangnya. Dia berambut hitam panjang sepunggung dengan mata yang sayu. Perawakannya tak seperti teman-temannya kebanyakan, kulit putih susu dengan wajah asia oriental membuat yang melihat terpana akan kecantikannya.
“saya Hashiba Naomi, saya baru pindah ke sini kemarin ... “
Dean tidak terlalu mendengarkan perkenalan anak baru itu. Matanya terlalu fokus ke arah Naomi hingga ia lupa berkedip. Menatap setiap lekuk tubuhnya dari ujung kaki ke rambut. Sampai akhirnya pandangan itu tertuju pada mata gadis itu. Mata yang bulat dan bersih, bagai purnama, seisi cahaya malam terpancar hanya dari matanya. Di situlah Dean sadar, itu adalah cinta pada pandangan pertama. Perkenalan pun selesai dan Dean berakhir dengan dihukum bersama sahabatnya di luar kelas.
Jam istirahat dibunyikan, Dean yang biasa pergi ke kantin dengan Dwicky kali ini memutuskan untuk berdiam diri sejenak di kelas meski sahabatnya sudah memanggil di pintu. Alasannya sudah jelas, ia terus memperhatikan Naomi yang begitu cantik, tersenyum manis bermandikan sinar mentari yang menyelinap dari kaca. Ia dikelilingin anak-anak perempuan yang ingin mengenalnya, dari mulai anak-anak penggemar David sampai anak perempuan paling culun dikelas berlomba-lomba berkenalan dengan Naomi.
“Kamu orang luar negeri ya? Namamu keren, kaya nama Jepang”
“iya, kulitmu juga bagus banget. Pengen deh punya kulit kaya kamu”
Naomi hanya terkekeh mendengar pujian teman-temannya itu sampai akhirnya ia mulai menjawabnya.
“Ayahku keturunan jepang, dulu ibuku tinggal di sana tapi sejak aku lahir kita udah di indonesia kok”
“Eh serius? Bisa bahasa jepang dong?”
Mendengar tanggapan teman barunya yang semakin tertarik dengan latar belakang Naomi, ia hanya bisa menggaruk kepalanya kebingungan untuk menjawab. Sementara itu Dean yang duduk 2 baris lebih jauh dari Naomi hanya menguping agar bisa kenal dengan gadis yang mencuri hatinya. Dwicky sudah kehilangan kesabarannya, ia pun masuk dan menarik telinga Dean untuk menyeretnya ke kantin. Hal itu menyebabkan perhatian Naomi teralih. Di tatapnya Dean malang yang menjerit kesakitan. Tanpa ia sadari, mulutnya tersenyum dan sedikit tertawa.
Sepulang sekolah, Dean keluar dari kelas begitu siang bersama Dwicky dan tas hitam yang ada di pinggangnya. Di luar terlihat ada 2 anak yang terlihat sangat berlawanan penampilan fisiknya, akan tetapi mereka berdua berteman baik. Mereka adalah Andre dan Wira, teman Dean.
“Pak Rojak beneran sadis ya, gak ngasih ampun padahal kamu baru pertama kali gak ngerjain PR” ucap Andre sambil membetulkan kacamatanya.
“Iya nih, aku aja gak pernah dihukum begitu sadis” jawab Dwicky santai.
“Kalau kamu sih emang harus dihukum” ketus Wira.