Arkha benar-benar tidak tahu apa yang dilakukannya di sini. Hanya karena memancing emosi Papa, dia harus menerima hukuman mengikuti kegiatan yang diperintahkan Papa dan dianggap lebih bermanfaat untuknya. Dia memandang sekitar. Barisan laki-laki dan perempuan sedang bergerak mengikuti instruksi dari instruktur parkour mereka.
Arkha mengakui kalau dia memang agak pecicilan. Tetapi, sampai harus ikut parkour? Dia bahkan baru tahu kalau olahraga itu ada di kampusnya beberapa bulan yang lalu. Berkat Papa dan anak relasi bisnisnya yang ternyata adalah instruktur komunitas parkour di kampusnya, di sinilah dia berada sekarang. Komunitas itu tidak sebesar komunitas parkour yang ada di tiap kota. Menurut cerita yang Arkha dengar dari anggota lain, si instruktur yang mendirikan komunitas ini hingga menjadi salah satu unit kegiatan kampus di bawah naungan Badan Eksekutif Mahasiswa universitas.
“Gimana mau bisa lompat dari balkon, kalau squat jump aja nggak becus!”
Suara lantang itu terdengar hingga ke barisan paling belakang anggota komunitas parkour yang latihan hari itu. Arkha melihat Bastian, sang instruktur berdiri di depannya. Badan Arkha sedikit lebih tinggi daripada sang instruktur. Kira-kira selisih tiga sampai lima senti. Rambut berpotongan cepak ala tentara, terlihat sangat sesuai dengan tatapan Bastian yang mengarah tajam kepadanya. Bas tidak terpengaruh dengan kenyataan dia harus agak mendongak supaya bisa memelototi Arkha.
“Capek? Mau istirahat? Cowok, bukan?”
Arkha mengusap keringat di dahinya, seraya menatap si instruktur dengan sebal. Sejak awal kedatangannya, Bastian selalu mengincarnya saat ingin mengomel. Semuanya hanya karena dia tidak sengaja bertanya apa fungsi atlet parkour selain sebagai stuntmen film laga. Sejak itu, Bastian selalu menatapnya dengan kesal dan tidak pernah berhenti memasang tampang garang dan wajah kaku kepadanya.
“Kenapa? Nggak suka dibentak?”
Arkha mengalihkan pandangan, tidak berminat mencari keributan sekarang.
“Yang lain juga! Banci aja bisa lebih baik daripada kalian!”
Semua peserta pelatihan parkour di lapangan itu mengikuti arahan si instruktur, yang terus berteriak, dengan sebaik mungkin. Termasuk Arkha. Kalau saja dia tidak membuat papanya mengamuk tempo hari, tentu dia tidak akan berada di sini.
Dia mengusap lututnya yang mulai terasa nyeri. Sisa kecelakaan beberapa bulan lalu masih terasa. Untung lututnya tidak cedera parah. Untung lagi, Papa tidak mengamuk membabi buta sampai menarik motornya. Nyaris sebenarnya. Tetapi, dia berhasil mempertahankan motornya.
Apa lagi yang bisa dilakukannya untuk bersenang-senang kalau tidak dengan balap liar? Dan, balap liar memerlukan modal sebuah motor yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa. Motornya, Duci, motor Ducati kebanggaannya, belum pernah mengecewakan. Dia tidak mau menukarnya dengan apa pun, termasuk sebuah mobil mewah dan sopir pribadi yang sudah diiming-imingi Papa.
“Parkour bukan cuma tentang melompat sana-sini aja, tapi juga tentang disiplin diri. Tentang gimana kita menghadapi rintangan. Kalau kalian nggak bisa dan nggak mau memahami arti parkour sebenarnya, keluar aja dari sini.” Arkha mendengar instrukturnya kembali bersuara.
Squat jump berakhir, dilanjutkan dengan rolling. Ceramah bercampur omelan dari Bastian seakan tidak pernah habis. Begitu selesai, mereka diberi waktu istirahat. Arkha langsung duduk dan memijat lututnya, tepat ketika Nika, salah seorang asisten Bas, menyerahkan bungkusan es kepadanya.
“Masih sakit?” tanya gadis itu.