Others 3%

Wulan Murti
Chapter #1

Bab 1 - Just Another Highschool Student

Ternyata seluruh sekolah ramai membicarakannya. Pertandingan football akhir pekan lalu. Tim sekolah melawan tim SMA East Valley, menang brutal. Mereka bukan membicarakan bagaimana tim bermain apik dan keras, tapi gosip setelah pertandingan. Urgh, yang benar saja.

Di meja kosong yang Nell Finley bisa temukan, dia menaruh nampan makan siangnya. Dari meja-meja lain, dia bisa mendengar mereka membicarakan perkelahian beberapa pemain senior Union Halls dengan pemain senior East Valley di halaman Dougnut World di mana tim Union Halls sedikit merayakan kemenangan mereka. Nell tidak tertarik. Dia hanya tenang kakaknya tidak termasuk dalam perkelahian tersebut.

Omong-omong soal kakaknya, Elijah Finley datang membawa nampannya. Bahunya melengkung lunglai. Dengan bunyi tuk, nampannya menimpa meja. Eli menarik kursinya dengan bunyi keras. Tanpa menyapa adiknya, Eli memakan pastanya.

Nell berdeham. “Er..., kau tidak bersama teman-temanmu?” heran Nell. Dia menyendok timun dan selada. “Mejanya di sebelah sana,” lanjut Nell sebelum mengunyah makanannya.

Eli menatap adiknya. “Aku malas berurusan soal pertandingan kemarin. Mereka akan menyindirku karena tidak mau bergabung ke tim atau ke pesta mereka. Hah, melewatkan perkelahian adalah hal bagus,” ujar Eli pelan-pelan.

Nell menyelipkan rambutnya yang lepas dari kepangan. “Apa tidak ada polisi yang datang?” tanya Nell penasaran.

“Pemilik restoran menyemprotkan air guna membubarkan mereka sebelum ada petugas yang datang. Beruntung, meski harus basah kuyup,” beritahu Eli. Dia mengerling ke meja tempat para senior lain duduk, teman-teman Eli yang main football.

Nell mengedikkan bahu. Dia menunduk, melahap makanannya. “Untuk orang yang tidak ada di TKP, kau cukup terperinci juga.”

Eli mengambil sejumlah besar pasta dari nampan adiknya. “Ada beribu cara untuk bertahan di rimba bernama SMA. Dan, ada satu dua jalan sempit menuju universitas. Tinggal pilih yang mana,” dia mendengus sok keren. Seakan dia telah menyatakan sebuah kalimat kutipan hebat.

“Terserah,” timpal Nell menghabiskan sisa pasta. “Hei, Kak, Jumat nanti, Martinez, teman sekelasku, dia mengadakan pesta ulang tahun. Bisa kah kau membujuk mom dan dad untuk mengizinkanku pulang sedikit lebih malam?” Nell menyodorkan sekotak yogurtnya ke Eli. Termasuk apelnya.

Eli menyipitkan mata. “Malam atau pagi?” desis Eli. Namun dia menerima persembahan sang adik.

Nell mengernyit. “Yah, atau aku akan bilang menginap di tempat Cora. Asal kau mau menutupi semuanya. Ayo lah, ini pertama kalinya aku diundang pesta anak populer. Tidak kah itu menarik.” Dia mengerucutkan bibir dengan sok imut.

Eli bergeming. Dia menikmati makanannya. “Tidak kah itu menarik,” Eli mengulangi. Dia mendengus. “Menarik tentunya. Mereka bakal menjebakmu dengan trik-trik aneh. Menarik kan?” 

Mata Nell terbelalak. “Kak, mana mungkin mereka begitu. Nggak lah! Kakak ada-ada saja. Kayak anak kecil. Lagi pula ini pesta ulang tahun,” Nell membela diri. Dia bersikukuh untuk bisa ikut datang ke pesta yang diadakan anak-anak yang mengenal lebih banyak populasi level atas sekolah. Suatu kejadian langka yang jarang dia dapati.

“Memang masih anak kecil,” seloroh Eli.

“Ayolah, kami sudah melewati 16 tahun. Di negara bagian lain kami sudah boleh minum.”

Eli merapikan nampannya. “Kau mau SIM-mu dicabut?” Eli menakut-takuti.

Nell bersedekap. “Baru juga seminggu punya, masak mau diambil,” keluhnya. Dia menghela nafas. “Oke, oke, aku tak akan sampai larut malam. Aku hanya akan datang memberikan selamat dan hadiah. Makan kudapan dan minum soda, lalu pulang. Lagi pula harus mengantar Cora ke rumahnya juga.”

Eli menyeringai. Tangannya menyapu rambut potongan tentara. “Kalau aku diajak, tentu bisa lain cerita,” ujarnya ringan.

Nell tidak menjawab. Dia menghabiskan sisa makanan yang ada di nampannya. Begitu selesai, dia mengangkat dua nampan sekaligus. Dia melirik Eli yang masih duduk di meja mereka, membaca sebuah buku.

Nell kembali ke meja mereka. Rupanya Eli membaca catatan pelajaran. Dia tidak jadi mengganggu kakaknya lagi. Lantas Nell mengeluarkan ponselnya. Tidak ada pesan masuk. Oh, tentu saja. Lucas belum boleh memegang ponsel selama jam pelajaran dari pagi jam setengah tujuh sampai delapan malam. Namun Nell masih bisa membuka pesan Lucas terakhir semalam.

Kami sdh mndengar kabarnya. Matt dengar dr sepupunya klo itu gara2 East Valley sogok wasit. Tp malah kalah. Mereka tuduh Golden Eagle sogok lebih besar.

Kau tak usah pikir soal itu. Biar urusan senior. Love you, honey.

Nell tersenyum membacanya. Lucas selalu menjelaskan dengan seksama. Dia juga mengkhawatirkan Nell, jadi akan selalu memperingatkannya untuk berhati-hati. Nell merasa pipinya bersemu merah. Dimasukkan kembali ponsel ke saku rok potongan A selututnya.

“Cora!” seru Nell pada sahabatnya yang baru memasuki kantin. Anak itu membawa tas bekal makan siangnya.

Cora menyelip di antara dua kursi. Untung cukup, tanpa harus mendorong anak-anak sophomore yang bergerombol seperti domba-domba. Sahabatnya ini duduk sekeras Eli duduk tadi. Membuat Nell mengernyit lagi.

“Lasagna,” ujar Cora yang membuka kotak makan siangnya. Dia menyendok sesendok penuh. “Mereka bakal membuat tim junior berlatih seperti di kamp militer,” keluh Cora. Dia mengikuti basket sejak freshmen. Pelatih mereka telah dua kali berganti. Pelatih yang sekarang adalah pensiunan dari militer. Memang benar, tapi beliau jago melatih tim. Tim basket Union Halls selalu memenangi tingkat county region.

Eli menutup buku catatannya. “Dia membuat pelatih-pelatih lain berbuat serupa. Tahun terakhirku harus tanpa cela. Hehm..., mau bagaimana lagi,” Eli ikut mengeluh. Kakaknya ikut tim baseball dan renang. Dia berencana mendapat beasiswa lewat salah satunya. Terutama baseball. Karena itu Eli hanya fokus pada dua olah raga tersebut. Dia menolak ajakan bergabung ke tim olah raga lain.

Nell? Dia tidak jago olah raga apa pun. Pelajaran Penjaskes berhasil dia ikuti dengan semangat standar dan nilai standar pula. Padahal Dad dulunya pemukul terbaik di SMA sampai kuliah. Mom seorang pesenam bersertifikat, mengajar anak-anak kecil gymnastik sejak dini. Setidaknya Nell bisa berenang kok.

“Haruskah aku mengusulkan artikel soal ini? Pelatihan atlet SMA yang keji. Aku bisa mengambil foto kalian sewaktu latihan?” Nell ikut nimbrung.

Eli mencibir padanya. “Itu namanya merusak nama baik sekolah. Kecuali kau membuat artikelnya untuk koran sekolah. Itu akan menjadi pergerakan siswa,” terang Eli.

Nell menggeleng. “Aku bukan bagian koran sekolah. Mereka tidak pernah mengizinkanku. Hanya karena aku sudah part time di Union Morning sejak SMP. Kurang ajar kan,” Nell ikut mengeluh.

Dia masih ingat seorang senior menolak formulir lamaran masuk ekstrakurikuler koran sekolah. Sebab di formulir Nell menulis pengalaman jurnalisme adalah sebagai asisten redaksi di Union Morning. Well, mereka hanya tidak tahu apa pekerjaan asisten redaksi. Hanya saja hal itu cukup membuat si senior tersinggung atau entah ketakutan, hingga menolak pendaftaran Nell.

Seakan dunia akan runtuh saja setelah itu. Hah, tidak tentunya. Nell tidak perlu repot ikut ekstrakurikuler di sekolah. Sepulang sekolah dia langsung menuju Union Morning dan bekerja sampai setengah 6 sore. Sayangnya dia mendapat teguran dari wali kelasnya. Setiap murid paling tidak harus mengikuti 1 grup ekstrakurikuler.

Nell menyanggupinya dan memilih selama seminggu. Dia hampir menyerah, sampai salah satu senior mengajaknya ikut kelompok otaku. Mereka bilang Nell bakal cocok. Pertama, Nell punya penampilan asia yang eksotis. Kedua, Nell bisa menggambar karakter dengan baik. Ketiga, dia bisa membaur dengan keanehan apa pun. Tidak, nomor tiga itu rahasia.

“Omong-omong, kami ada rapat sebentar. Aku pergi dulu ya,” pamit Nell yang baru ingat senior Yamashita mengirimkan pesan ke grup untuk rapat pada jam istirahat.

“Jangan lupa nanti sore kau jemput aku,” seru Cora. Dia masih menyendoki lasagna.

Nell memanggul ranselnya. “Iya, iya. Aku akan bergegas setelah dari Union Morning. Bye, Cora. Bye, Eli,” ujar Nell lalu berlari keluar kantin.

“Kenapa mereka memilih Nell sebagai anggota otaku?” heran Cora dari dulu belum terjawab.

Eli melipat kedua tangan di atas dada. “Aku juga tidak mengerti. Untungnya dia tidak menjadi ketua atau bendahara atau semacamnya. Itu lebih menenangkan. Paling tidak dia bisa menghasilkan uang dari keisengannya menggambar diriku.”

Cora terangguk-angguk. “Kau mendapat bagian yang bagus kan?”

Eli tertawa kecil. “Tentu lah! Kalau tidak aku tak akan pernah mau berpose untuknya. Adikku atau bukan....” Eli berdeham. Dia meraih bukunya di meja. “Well, cukup untuk membeli perlengkapan kuliah nanti,” lanjutnya.

Cora mengusap mulut dengan tisu. Dia bergerak canggung, memberesi perbekalannya. “Aku melihatnya di internet. Gambar-gambar Nell kebanyakan manual. Kurasa jaman sekarang sudah mulai pindah ke gambar komputer.”

Lihat selengkapnya