Others 3%

Wulan Murti
Chapter #2

Bab 2 - One Enemy is Enough

“Bubble!” seru Eli tepat ke telinga Nell. Dia menarik selimut adiknya.

Nell menggeliat kesal. Mulut menggerutu tak jelas masih dengan mata tertutup. “Lima menit lagi!” keluhnya dengan keras.

Eli menarik bantal di bawah kepala Nell. “Ayolah! Kau harus mengantarku ke sekolah lebih awal,” kata Eli tak mau tahu. Dia mengerling ke jam beker yang menunjukkan pukul lima pagi.

Setelah semenit, Nell terduduk dengan rambut acak-acakan. Disisirnya dengan jemari, kusut di ujung. “Aw!” pekiknya. Matanya pun terbuka lebar. Dilihatnya Eli sudah memakai celana training pendek dan jaket varsitynya. “Kau sengaja memasukkan mobil ke bengkel,” tuduh Nell ingat mengapa kakaknya minta diantar.

Eli menggeleng. Kedua tangannya di pinggang. “Kau bisa ikut lari bersama kami. Setidaknya membuatmu kurusan," dia beralasan. Seakan sangat berguna untuk adiknya.

“Body shaming!” desis Nell. Dia pun beranjak dari kasur empuknya. Meninggalkan hangatnya selimut, menuju kamar mandi.

Lima belas menit kemudian Nell sudah menguncir rambut panjang sepinggangnya dengan kuciran emas. Dia memakai kaos ungu tua longgar lengan tiga perempat dan celana training panjang. Ranselnya disandang, sambil mengambil kunci di wadah keramik. Mom menyapanya dari dapur bersama segelas kopi.

“Kau mau ikut latihan kakakmu, Sayang?” heran mom.

Nell merentangkan kedua tangan. Sedikit menguap. “Dengan terpaksa. Aku akan jogging saja, Mom. Kami berangkat dahulu,” kata Nell. Dia mengecup kedua pipi mom. Aroma kopi membuka matanya lebih lebar.

Eli sudah di depan, membuka pintu garasi. Nell berlari kecil menuju mobil dan segera menghidupkan mesin. Setelah lima menit, dia menjalankan mobil keluar garasi, dan Eli menutup garasi. Dia masuk ke kursi penumpang dengan hentakan lembut.

Sampai di sekolah, mereka berjalan beriring. “Ini sarapan dan makan siangmu,” ujar Eli seraya mengangsurkan tas bekal. Di dalamnya terdapat dua kotak makan. Punya dia sendiri masih aman di dufelnya.

Nell menerima jatahnya. Dia berjalan agak pelan mengikuti kakaknya menuju lapangan olah raga. Eli menuju ruang loker sementara Nell lurus ke tepi tribun. Dia menaruh ransel dan tas bekalnya di sana. Sementara itu, beberapa teman tim renang Eli sudah melakukan pemanasan. Pelatih mereka berdiri memakai topi dan membawa papan klip.

Pagi itu mereka melakukan lima putaran lari sebelum berenang beberapa putaran. Meski bukan anggota tim, Nell ikut nimbrung jauh di belakang. Dia pun melanjutkan jogging mengelilingi lapangan saat tim renang berpindah ke kolam renang di dalam gedung olah raga. Setelah merasa cukup berkeringat, Nell berhenti berlari. Dia mengambil ranselnya menuju ruang loker.

Sewaktu Nell mandi di salah satu bilik, dia mendengar nama kakaknya disebut. Suara beberapa cewek nyaring terdengar bercerita seru. Nell mendecakkan lidah. Kakaknya cukup terkenal di antara murid-murid Union Halls, kenapa tak ada satu pun yang lolos jadi pacarnya. Nell mengeringkan badan sambil terkikik sendiri.

Keluar dari ruang loker, Nell tidak berpapasan dengan cewek-cewek yang membicarakan Eli. Dia malah berpapasan dengan tim football yang baru selesai latihan. Salah satunya Finn Ruiz yang terang-terangan memandanginya. Nell melengos seketika. Salah apa dia sampai harus bertemu Finn Ruiz sepagi ini. Berada dalam satu kelas bersama sudah cukup membuat jengah.

Murid-murid sudah mulai berdatangan. Nell mengambil hoodie dari ransel dan memakainya di atas blus biru muda serta rok lipit selutut. Dia tidak nyaman memakai lengan pendek di antara orang banyak. Itu juga yang membuatnya kesal mendapati Finn Ruiz memandanginya selepas dari ruang ganti tadi. Bisa-bisanya dia kelupaan bawa pakaian yang lengan lebih panjang.

Kelas pertama Nell adalah home room. Dia bisa belajar sedikit lagi untuk tes sosiologi nanti. Nell mengklaim kursinya, deret paling luar menempel dinding nomor dua dari belakang. Mr Woodson, wali kelas mereka, telah duduk membaca Union Morning. Nell berusaha mengabaikannya. Saat Mr Woodson melipat koran dan berdiri, ponsel Nell bergetar di sakunya.

Nell mengeluarkan ponsel tanpa menunduk. Ditaruhnya ponsel di bawah binder yang terbuka. Dia melirik Mr Woodson yang memberikan beberapa nasehat dan pengumuman. Nell dengan hati-hati membuka pesan. Dari Danni Pham, menanyakan perkembangan poster pesanannya.

Diketiknya dengan cepat jawaban untuk Danni. Will send U 2night. Dia pun mendorong ponsel ke di bawah binder. Kembali memperhatikan hal yang disampaikan wali kelasnya. Kecuali sebuah gumpalan kertas melayang melewati bahunya dan jatuh tepat di mejanya.

Baru ketika Mr Woodson selesai dan duduk kembali. Murid-murid kembali belajar secara mandiri. Nell malah menyipitkan mata ke gumpalan kertas. Dalam hati dia menggerutu. Kerjaan siapa ini yang iseng banget. Nell melirik sampingnya, Latanya Pierre, tidak terlalu dekat tapi juga tidak ada masalah dengannya. Mereka pernah berada dalam tim lab biologi bersama.

Di belakang Latanya juga bukan kandidat yang tepat. Belakangnya lagi terlalu jauh untuk melempar. Nell pun menghela nafas. Dia tak perlu menoleh ke kursi di belakangnya tepat. Di kelas mana pun, yang ada dia, kursi mereka selalu depan belakang. Nell menyerah jua, dia membuka ke remasan kertas tersebut.

Tertulis di sana: Main hp terus! Nell mencibirkan bibir. Memangnya dia guru atau administrator, mencampuri urusannya saja. Nell meremas lagi kertas tersebut. Dilemparkannya ke laci kecil mejanya. Dia pun fokus kembali ke buku materinya. Peduli amat dengan orang aneh macam dia.

Saat periode berikutnya dimulai, Nell bernafas lega. Dia tidak sekelas dengan makhluk satu itu di kelas desain mebel. Dia bisa membuat mebel dengan tenang dan damai. Dia bahkan mengobrol normal dengan teman sekelasnya. Tidak perlu mengatur jarak kursi mau pun khawatir dilempar bom kertas pesan.

Begitu sekolah selesai, Nell bersandar di dinding luar kelas sosiologi. Dia sibuk dengan ponselnya. Tengah mengunduh berkas hasil kerjanya dari cloud dan mengirimkan versi ringannya ke Danni. Setelah tiga malam membuat poster, dia merasa sudah cukup bagus untuk ditunjukkan pada pemesan. Untuk revisi dan lain-lain, yah, orang tidak bisa langsung sekali bilang oke, kan.

Tiba-tiba seseorang menarik tudung hoodie Nell, sampai menutupi matanya. Dia memejamkan mata, menahan umpatan yang sudah di ujung lidah. Suara murid-murid yang lewat dan mengobrol membenamkan gemuruh dalam dadanya. Dia menghembuskan nafas keras sambil menurunkan tudung. Sudah siap dia berkelahi dengan siapa pun pelakunya.

“Apaan sih?” ujar Nell ketus. Dia membalikkan badan. Kepalanya didongakkan ke jangkung tengil, yang sayangnya mempunyai mata biru yang indah. Suatu kesia-siaan. Hal indah tertanam pada sosok yang menyebalkan.

Finn Ruiz memasang wajah datar. Dia menunduk ke arah Nell. “Apa kau hp mania? Risih melihatnya,” ejek Finn. Dia menunjuk ponsel di tangan Nell dengan dagu perseginya. Ada sebuah bekas luka melintang di sana.

Nell menurunkan tangan ke sisi-sisi badan. Dia mengulum bagian dalam mulut sebelum membalas lawannya. “Jangan iri, jomlo,” kata Nell tajam.

Finn Ruiz tertawa datar. “Jomlo? Haha! Bangga dengan pacar norakmu?!” Dia memutar mata. Sungguh sangat menyebalkan jika dia yang melakukan.

“Kamu yang norak,” timpal Nell lalu berbalik menuju koridor loker. Dia berjalan berisik, sol boot pendeknya memukul lantai dengan kencang. Ranselnya memantul di punggung. Tangannya meremas-remas udara penuh hasrat ingin meremukkan sesuatu.

Lihat selengkapnya