Others 3%

Wulan Murti
Chapter #3

Bab 3 - When Everybody being Weird

Berita buruk, mobil Eli masih di bengkel dalam waktu yang entah lah. Mereka menunggu onderdil yang harus dipesan ke pabrik. Itu membuat Nell uring-uringan setiap pagi. Masih harus bangun lebih awal dan ikut kakaknya berolahraga. Bagus memang, tapi dia kehilangan waktu tidurnya.

Permintaan gambar adalah pekerjaan yang Nell lakukan di malam hari. Itu membuatnya sering lembur untuk menggambar. Memang belum banyak order yang masuk sampai dia kewalahan. Namun selalu ada saja permintaan tiap minggunya. Nell menyukai pekerjaannya. Dia bisa mendapatkan uang tambahan sekaligus menyalurkan hobi.

Bukan berarti keluarga Finley dalam kesusahan finansial. Urusan finansial bukan hal yang sering didiskusikan di sana. Keluarga Finley memiliki rumah dan makanan yang cukup untuk lima orang. Mereka masih bisa membiayai kuliah Eli dan Nell. Dad bekerja di sebuah firma hukum bersama dua rekannya semasa kuliah. Mom sendiri tidak menjadi ibu rumah tangga saja. Setiap empat hari selama seminggu, Mom mengajarkan senam pada anak-anak dan remaja. Selain itu mereka punya kucuran dana dari pensiun Grandpa. Dan, Granny pun masih menghasilkan uang lewat rajutannya.

Pada dasarnya, keluarga mereka hanya suka bekerja. Nell tak jauh berbeda. Sore di Union Morning, malam permintaan gambar. Namun bukan berarti Nell tidak mengutamakan sekolahnya. Meskipun bukan murid tercerdas, dia tidak mempunya rapor yang buruk. Tidak juga jauh dari rata-rata. Dia harus memiliki rapor yang bagus kalau ingin mendapat beasiswa kuliah nanti, kan.

Jumat pagi, Nell meletakkan kepala di atas island dapur. Matanya tertutup rapat seperti dilem. Terakhir dia menoleh pada jam, baru menunjukkan pukul 5.30. Mom tengah membuat teh kamomil untuk Granny. Sementara kakaknya masih bersiap-siap di kamar.

“Mau makan sesuatu, Bubble?” tanya mom yang menaruh cangkir teh kesukaan Granny di sisi seberang island.

Granny melihat tajam dari balik kacamatanya. “Kau bakal membuat pulau di atas pulau,” tegur Granny setengah bercanda.

Mom tertawa kecil. Dia mendekati putrinya. “Ini sarapan dan bekal makan siangmu. Mau tambah sesuatu?” Mom menaruh tas bekal di samping kepala Nell. Sejenak mengusap puncak kepala anak gadisnya.

Nell menggeliat keenakan tanpa mengangkat kepala. Dia menyunggingkan senyum kecil. Sambil diintipnya isi tas bekal. “Ini sudah cukup, Mommy. Terima kasih,” ujarnya.

Ketika tangan Mom terangkat, Nell menegakkan badan, teringat sesuatu. “Granny, aku sudah menaruh orderan terbaru di ruang kerajinan. Granny butuh bahan lagi?” dia memberitahu neneknya.

Granny menyesap teh kamomilnya. Dengan elegan menaruh cangkir dan tatakannya. “Akan kubuat daftar. Besok kau belanjakan. Beberapa benang sudah habis,” ujar Granny.

Nell terangguk-angguk. Dia mengambil toples kukis di tengah island bersanding dengan keranjang buah. Dia baru menggigit ketika Eli muncul di dapur dengan rambut basah. Jaketnya tersampir di atas dufel. Tanpa peringatan menarik kerah kaos raglan adiknya. Tidak peduli geraman adiknya.

“Kami berangkat dulu, Mom, Granny,” pamit Eli.

Nell mengunyah kukisnya sambil menyandang ransel. Dia meraup kunci di wadah keramik. “Mom, nanti kalau ada paket untukku, tolong ditaruh di kamar langsung ya. Love you, Mom, Granny,” ujar Nell buru-buru menyusul kakaknya.

“Hati-hati, Sayang!” balas mom.

“Apa tidak sebaiknya Nell berangkat dengan Logan saja?” heran Granny.

“Kalau begitu Nell tidak bakal bisa berolahraga, Granny. Biarkan saja,” sahut Mom.

“Benar juga. Anak itu makin bulat saja kalau dibiarkan,” Granny terkekeh.

Nell menutup pintu depan dengan bibir dikerucutkan. Dia sudah tidak lagi mendengar percakapan Mom dan Granny yang menyentil sanubari. Tersenyum kecut, Nell melompat masuk ke kursi kemudi. Kakaknya sudah duduk memasang sabuk pengaman. Mana peduli Eli soal sanubari adiknya yang terombang-ambing.

“Kau masih berencana akan datang ke pesta Martinez?” tanya Eli di tengah perjalanan.

Nell menganggukkan kepala. “Tentu. Kami sekelas dan cukup dekat. Akan canggung kalau tidak datang,” ujarnya.

Eli melipat kedua tangan. “Lucas juga akan datang?” dia kembali bertanya.

Nell tertegun. Dia baru ingat kalau Lucas juga mengenal Jose Martinez. Mereka pernah berada di SMP yang sama. “Kurasa dia akan datang,” Nell mengangkat bahu. Dia belum bertanya ke Lucas soal ini. Dia harus ingat untuk mengirim pesan ke Lucas nanti malam. “Ini kan jatah dia pulang juga,” imbuhnya menjadi bersemangat.

“Jadi kau tak butuh aku untuk menutupi kan?” Eli menegaskan. Seakan ada yang dipancing-pancing. Bukan, ada yang mencurigakan. Mungkin dia dilarang ikut pesta sepenuhnya.

“Aku akan bertanya pada Lucas dahulu. Siapa tahu Martinez tidak mengundangnya. Tapi kan kau sudah melarangku pulang malam,” Nell mengelak. Dia jadi berpikir ke mana-mana lagi. Sementara itu kakaknya hanya menggumam ya.

Sampai di sekolah, dia memarkirkan mobil dengan cukup mulus. Hampir menyenggol pembatas, tapi aman. Eli langsung keluar menyandang ranselnya. Dia bersandar ke pintu mobil, menunggu adiknya selesai mengunci mobil. Masih menguarkan aura yang membuat Nell semakin tidak nyaman.

“Pestanya masih besok kan?” Eli melanjutkan obrolan. Dia berjalan pendek-pendek.

Nell membawakan dufel Eli, agak cemberut. “Iya. Aku lupa tanya soal itu pada Lucas. Dia agak sibuk akhir-akhir ini. Kurasa di St Peter Claver terdapat kompetisi yang pelik. Terlebih menuju tahun final,” Nell malah sedikit melamun. Pacarnya semakin jarang mengirim pesan di hari sekolah.

Eli meraih dufelnya dari tangan Nell. “Tugasmu kan menyemangatinya?” komentar Eli apa adanya.

Lihat selengkapnya