Others 3%

Wulan Murti
Chapter #4

Bab 4 - Failed Party

Pagi itu Nell terbangun dengan ponsel menempel di dahi. Baterai tinggal 15% dan terbuka pada fitur pesan singkat. Pesan singkat dengan Lucas yang sampai pagi pun belum ada jawaban. Nell menggeliat dan membuat ponselnya melorot ke atas belitan selimut.

Masih dengan setengah kesadaran, Nell mendudukkan diri. Diraihnya ponselnya sambil menguap. Beringsut ke pinggir tempat tidur, Nell menarik kabel charger. Dia pun beranjak menuju kamar mandi.

Air dingin wastafel membangunkannya secara penuh. Setelah menggosok gigi dan membalurkan deodoran, Nell mengganti baju tidurnya dengan celana pendek dan kaos longgar hitam. Beralaskan selop bulu warna ungu, Nell menuju dapur.

Mom sudah memakai pakaian training dan menyanggul rambut pirang gelapnya tinggi-tinggi. Segelas smoothie warna hijau tinggal berisi setengah. Di sampingnya, Dad masih memakai piyama dan jubah tidur, membaca koran hari ini. Nell mengenali headline berita yang kemarin ditata desain letaknya. Tentang imigran yang masuk ke amerika.

“Good morning, Granny,” sapa Nell pada Granny yang menyeruput teh melati di meja makan. Neneknya mengangsurkan sepiring kue buah. “Makasih, Granny,” ujarnya mengambil sepotong.

Nell menaiki bar stool island di depan Mom. Ibunya tengah sibuk dengan laptop. Pasti sedang memperbarui blognya. Nell membuka novel yang semalam dia tinggalkan di tengah island dekat keranjang buah.

“Nanti malam jadi ke pesta ulang tahun Jose?” tanya Mom, mendongak dari laptop. Mom sudah memakai riasan ringan. Tampak cantik dan segar.

Nell menelan habis kue buahnya. “Iya, Mom. Aku mau beli hadiah dulu siang ini,” beritahu Nell. Dia bangkit dari stool mengambil segelas susu dari kulkas.

“Pergi dengan Lucas?” lanjut Mom sambil mengetik pelan.

“Belum tahu. Dia belum bisa dihubungi,” keluh Nell. Dia membawa segelas susunya ke island. “Apa mungkin dia ada urusan mendadak di sekolah? Sudah beberapa hari tidak ada kabar.”

Alis Mom tertaut. “Begitu?” sahut Mom. Dia melipat kedua tangan. “Oh, Granny, apa kau mendengar sesuatu dari Lola?” Mom mencondongkan badan ke sebelah kiri di mana Granny duduk.

Granny berhenti merajut sejenak. “Tidak ada. Keluhan seperti biasa, anak muda jaman sekarang susah diberitahu. Kau tahu lah, main komputer dan ponsel terus. Kalau tidak ya keluar seharian,” cerita Granny. Kemudian merajut lagi. Sebuah sarung tangan setengah jalan.

Mendengar itu Nell mengerutkan dahi. Lucas bukan tipe memainkan game seharian. Iya, dia main game, tapi lebih senang belajar atau melakukan percobaan sains. Dia juga tidak menempel 24 jam pada ponselnya. Tapi tak tahu juga sih, kalau di rumah jadi pegang ponsel terus. Hanya saja, keluar seharian. Terdengar mencurigakan.

“Aku akan ke rumahnya,” Nell mengumumkan. Dia melompat turun, hampir menabrak Dad yang selesai membaca koran. “Sorry, Dad,” ujarnya bergegas keluar rumah.

“Hati-hati, Nak,” balas Dad.

Nell menyerukan iya sambil memakai sandalnya. Dia membuka pintu dan nyaris menabrak kakaknya yang baru selesai lari pagi. Eli bertanya keheranan kenapa Nell bangun sepagi ini di akhir pekan. Adiknya hanya melambaikan tangan.

Sandalnya menepuki paving jalan dengan suara keras seperti sabetan tali. Dia berjalan terlalu cepat sampai hampir terserimpet kakinya sendiri. Setelah melewati rumah dua tetangganya yang jarang di rumah, Nell memasuki halaman rumah keluarga Conner.

Rumput halamannya baru dipotong. Orang-orangan taman bersembunyi di rumpun tanaman. Jalan setapak batu berkelok menuju pintu ke samping rumah. Nell melewatinya, lurus menuju teras rumah. Lagi-lagi hampir tersandung trap tangga kayu. Dia membunyikan bel terlalu kencang.

“Oh, pagi, Nell,” sapa Mrs Conner, memakai tank top dan celana yoga.

Nell tersenyum. “Pagi, Aunty. Apa Lucas ada?” balas Nell. Dia menahan diri tidak melongok ke dalam rumah yang temaram.

“Apa dia tidak memberitahumu? Dia ada hiking akhir pekan ini.” Mrs. Conner mengusap pelipisnya yang berkeringat. Dia tampak menyesal.

Senyum Nell pudar. Dia menarik sudut-sudut bibir dengan paksa. “Ah, ya, Lucas pasti kelupaan. Baiklah, Aunty, saya pamit dulu,” Nell berujar datar.

Mrs Conner menelengkan kepala. Pandangannya penuh kehati-hatian. “Dia pasti segera menghubungimu, Nell. Ditunggu saja ya,” hiburnya.

“Uh, hu uh,” gumam Nell menyerah. Dia berbalik badan dengan bahu melengkung turun. Diseretnya kaki meninggalkan rumah keluarga Conner. Sesampainya di paving jalan, dia mendengar pintu ditutup. Takut-takut dia menoleh ke rumah pacarnya itu. Tak ada yang berubah.

Korden masih menghias jendela dari dalam. Tanaman menjalar di dinding sebelah kanan mulai kehilangan hijaunya. Angin berhembus, Nell memeluk dirinya sendiri. Bergegas kembali ke hangat rumahnya sendiri.

Sampai di rumah, Nell menuju kamarnya. Diambilnya ponsel dari atas nakas. Sudah hampir terisi penuh baterainya. Namun masih tak ada pesan dari Lucas. Helaan nafasnya terdengar menyedihkan. Pendek tapi berat.

Dia membaca ulang pesan-pesan sebelumnya. Kebanyakan pesan Nell tidak dijawab Lucas selama beberapa hari ini. Lucas hanya bersemangat menjawab soal perkelahian sekolahnya minggu kemarin. Habis itu dia benar-benar irit menjawab.

Pikiran Nell berusaha membuat alasan positif. Mereka sudah junior, sekolah adalah prioritas utama. Terlebih dengan cita-cita yang dipupuk jauh-jauh hari. Sekali pun hatinya penuh keraguan. Seharusnya Lucas memberitahunya sesuatu. Tidak memberitahukan dia ada kegiatan ekstrakurikuler di akhir pekan adalah kealfaannya yang baru.

Kalau dipikir-pikir, dulu sewaktu mereka belum pacaran, Lucas sering punya acara mendadak di akhir pekan. Nell tidak keberatan sama sekali. Karena saat itu dia berpikir Lucas punya dunianya sendiri di luar persahabatan mereka. Tapi sekarang kan.... Meskipun memang benar Lucas berhak melakukan kegiatan pribadi, tapi bukankah seharusnya dia paling tidak memberitahu Nell.

Atau tidak perlu? Mereka kan cuma pacaran, bukan menikah. Tidak ada kewajiban dia harus tahu semua kegiatan pacarnya. Well, dia tidak bisa berpikir lagi. Diacaknya rambut dengan frustrasi. Kenapa pula jadi rumit begini.

Nell terperanjat ketika Eli masuk begitu saja ke kamar. Dia membelalak lebar pada kakaknya. “Tidak bisakah mengetuk dahulu?” protesnya.

Eli mengedikkan bahu. Dia masih mengeringkan rambut dengan handuk. Duduk begitu saja ke kursi belajar adiknya. “Tidak dikunci,” elaknya.

Nell mendengus. Dia menaruh ponselnya ke atas bantal. Tepat ketika notifikasi berbunyi. Disambar kembali ponselnya. Serta merta dibukanya kunci ponsel. Nell menarik ke bawah notifikasi yang muncul. Pesan dari Cora.

Nnti ku dtg dg Mclaren.

Oh, yeah, Easton Mclaren, pacar Cora. Easton sudah kuliah semester pertama musim gugur ini. Dia hanya berkuliah di kota sebelah. Tiap minggu bisa pulang. Oh, bahkan tiap hari bisa pulang kalau mau. Cuma empat puluh menit perjalanan. Keduanya sudah berpacaran sejak Cora masih kelas 9. Sungguh rekor mereka bertahan selama ini. Nell selalu mengagumi pasangan satu ini.

Dia pun membalas pesan sahabatnya. Kembali bersedih ketika harus mengetik “ok. Dtg sendiri nih.”. Dia menurunkan ponsel, mendongak pada kakaknya.

“Ada apa?” selidik Nell.

Kakaknya menyampirkan handuk ke punggung kursi. “Gimana nanti sore? Lucas sudah mengabari?”

Nell menggeleng lemah. Dia menceritakan pada kakaknya bahwa pacarnya tidak memberi kabar sama sekali. Sekarang dia tak bersemangat menjalani hari. Tak ada gunanya berencana pulang malam. Dia bakal datang mengucapkan selamat, makan kue lalu pulang. Dan ketinggalan kemeriahan lain.

Eli memberinya sentuhan prihatin pada lengan. “Jam malam kita kan jam 10. Rileks lah sedikit di sana,” usul Eli.

Setelah selesai mengasihani diri sendiri, Nell turun kembali untuk sarapan. Mom sudah berangkat ke studio untuk kelas pagi. Sementara Dad sibuk di kebun belakang tempatnya menanam berbagai sayur mayur dan herbal. Eli menemaninya sarapan sambil mengetik di laptop.

“Apa sih yang kalian ketik?” heran Nell mengaduk telur orak-ariknya. Dia menusuk dengan garpu dan mengangkatnya ke mulut.

Eli tak mengalihkan pandangan dari laptop. “Banyak hal, bukan hanya PR atau tugas. Makanya belajarlah menulis juga,” sergah kakaknya.

“Lain kali ah. Kami berencana menjual komik di homecoming nanti. Kimberly Jung membuat ceritanya dan aku bagian menggambar. 10 dollar sebuah, jangan lupa suruh teman-temanmu untuk beli,” timpal Nell. Dia ganti menusuk sosis. “Itu sudah murah. Aku menggambar manual dan kami memindainya baru mencetak. Plus bonus tanda tangan kami.”

Eli mendecakkan lidah. “Hargai saja 20 dollar. Atau 25 dollar. Tidak kah kalian membagi keuntungannya?”

Nell menghitung dalam kepala. “Akan kami diskusikan kembali. Tentu saja untungnya masuk ke kas klub. Kami hanya mendapat upah produksi. Lumayan sih. Tapi kami tidak akan memberi diskon ke suadara atau teman dekat.”

“Iya, iya, tahu-tahu.”

Nell menyelesaikan sarapannya. Dia menuju sink, menaruh piring kotor ke dishwasher. Mom belum menjalankan pencuci piring. Tanda bagi Nell untuk melakukan tugasnya.

“Aku mau keluar sebentar,” pamit Nell menjelang siang. Dia sudah memakai jeans dan kaos lengan tiga perempat. Tas sandang krem dengan rantai silver melintang bahu.

Dad yang mencuci tangan di sink berhenti. “Tidak mengajak Eli?” tanya dad.

Nell menggeleng. “Dia sedang bersenang-senang dengan gitarnya,” jawab Nell, mengambil kunci mobilnya. “Oh, ya, Dad, menurutmu apa yang sebaiknya kuhadiahkan?”

Dad mengeringkan kedua tangan dengan tisu kertas. Tampak berpikir dengan dahi berkerut. “Mobil-mobilan? CD game? Pakaian? Sepatu?” sebut dad.

“Masak mobil-mobilan. Kami sudah besar, Dad,” protes Nell.

Dad mengusap dagu. “Asesoris ponsel? Buku?”

“Oh, iya. Bisa tuh, Dad. Oke, aku pergi dulu, Dad,” pamit Nell.

Tujuan Nell adalah mall dekat rumah. Di sana semua sudah lengkap. Mereka punya toko elektronik yang besar. Dia tak akan pusing memilih. Mana tahu dia soal hadiah untuk cowok.

Kalau saja dia bisa pergi dengan Lucas. Segalanya pasti lebih mudah. Dia tinggal mengikuti pilihan Lucas. Itu kan untungnya punya pacar. Well, ketika pacarmu bisa diandalkan.

Tapi, dia bisa melakukannya sendiri tanpa Lucas. Tidak akan sulit kan. Dia akan memilih headphones yang tengah hits itu. Atau dia bisa memberikan kartu voucher. Tuh, kan, tidak sulit juga ternyata.

Keuntungannya adalah dia bisa cuci mata di mall. Melupakan sejenak kepenatan sekolah dan absennya Lucas. Nell memasuki toko buku. Rak alat-alat kesenian seakan melambai padanya. Matanya terasa segar melihat bolpen warna warni dan stasioneri lain.

Terbesit ide untuk memberikan kado berupa paket bergambar. Tapi dia ingat Martinez itu lebih suka olah raga dari pada seni. Dia tersenyum kecut. Orang-orang di sekitarnya kebanyakan atlet. Dia sendiri yang tidak pandai pada cabang olah raga apa pun.

Setelah dua jam penuh berkeliling, Nell sudah menenteng kadonya. Sudah dibungkus rapi dan kartu ucapan juga sudah siap. Dia keluar dari mall sambil menyesap es kopi. Di tengah jalan menuju lahan parkir, Nell terhenti sejenak. Dia seperti melihat seseorang yang dikenal.

Hei, itu sepertinya Lucas! Tapi dia memakai hoodie dan jeans. Juga memakai topi baseball biru tua. Tiga item pakaian yang tidak dipakai Lucas sejak memasuki St Peter Claver. Mungkin hanya salah lihat. Lagi pula orang itu menuju truk hitam mengkilap yang jelas bukan mobil Lucas.

Dan, Lucas sedang hiking!

Nell pun pulang ke rumah melupakannya. Dia perlu menyiapkan pakaian. Martinez memiliki ide untuk menyuruh teman-temannya datang dengan kode pakaian. Dalam musim gugur seperti ini, dia menuliskan bahwa harus memakai pakaian nonton konser. Ah, yang benar saja.

Rumah sepi ketika Nell kembali. Dia mengintip ke ruang kerajinan, Granny terkantuk-kantuk di salah satu kursi. Dia lanjut ke kamar seraya mampir ke kamar kakaknya. Eli tengah berkutat dengan kertas dan gitarnya.

“Di mana Dad?” tanya Nell di ambang pintu.

Eli menoleh. “Pergi ke toko tanaman,” jawabnya singkat.

Nell menutup pintu kamar kakaknya. Dia memasuki kamarnya sendiri. Ditaruhnya tas kertas ke meja belajar. Setelah mencuci tangan, Nell membuka lemarinya. Dicarinya gaun musim panas biru gelapnya.

Gaun itu polos dengan rok sepanjang lutut dengan potongan di pinggang. Jaket kulit warna hitamnya bakal cocok. Serta boots sebetisnya. Nell menemukan choker hitam dengan batu safir di kotak perhiasannya. Juga ikat pinggang hitam sedang yang mengkilap seperti jaketnya.

“Wow, wow! Vokalis band mana ini?” seru Eli ketika Nell selesai berdandan.

Dia memakai maskara dan memulas lipstik warna merah gelap. Rambutnya diikat tinggi di belakang. Scrunchie hitam velvet mengikatnya dengan kencang. Tas selempang kremnya tampak mencolok di antara gaun biru tua dan jaket hitamnya. Dia pun memakai stocking hitam polos dan boots hitamnya.

“Cora bilang begini bagus,” ujar Nell cemas. Dia sudah menelepon video dengan Cora. Saling menunjukkan penampilan mereka. Cora bilang dia tampak keren tapi tidak berlebihan.

Eli mengusap dagu. “Kau tidak kedinginan kan?” cemas Eli.

“Well, tidak juga,” ungkap Nell. “Tapi bukan itu masalahnya. Menurutmu penampilanku bagaimana?” tambah Nell dengan khawatir mengecek diri di depan pintu kulkas.

“Menurutku sih nggak ada masalah. Oke lah,” beritahu Eli.

“Apa yang kalian ributkan?” sela Granny yang memasuki dapur. Dia menatap Nell dengan mata lebar. “Kau kah itu Bubble?” heran granny.

“Ih, tuh kan,” rengek Nell. Dia meremas gesper jaketnya. “Apa aku tampak aneh, Granny?”

Granny mendekatinya. “Oh, Bubbles, sayangku, kau tampak memukau,” puji Granny yang mengusap lengan cucunya. “Tapi jangan pulang kemalaman,” imbuh Granny dengan tegas. Untung saja beliau tersenyum lebar.

Senyum itu menular ke Nell. Serta merta memeluk Grannynya. “Baiklah, Granny, aku berangkat sekarang,” ucap Nell, mengecup kedua pipi Granny. Dia lalu menyambar tas kertas berisi kado dan kunci mobilnya.

Langit cerah dengan satu dua kerlip bintang terlihat. Udara yang tidak terlalu dingin terasa nyaman untuk pesta malam ini. Dengan atau tanpa Lucas, dia akan tetap bersenang-senang. Kapan lagi bisa sejenak rileks tanpa mengkhawatirkan tes semester.

Setelah perjalanan delapan belas menit, Nell sampai di rumah Martinez yang berhalaman depan luas. Sejumlah mobil telah terparkir di kiri kanan jalan. Rumah itu berada di ujung jalan dan berjarak agak jarang dengan tetangga. Nell memarkir mobil lalu mengeluarkan ponselnya.

Cora mengiriminya pesan : aku sdh di dlm.

Nell membalas dengan kata ok. Dia mematut diri di spion sebelum turun. Beberapa kali memperbaiki posisi jaketnya. Sol lima senti bootnya berbunyi menapaki jalan setapak menuju depan rumah.

Nell menekan bel. Tak berapa lama pintu dibukakan sendiri oleh Jose. Dia merangkul Nell singkat.

“Happy birthday, Jose,” ucap Nell menyerahkan kadonya.

Jose menerima tas kertas tersebut dengan senyum. “Kau tak perlu repot-repot. Tapi terima kasih. Ayo, masuklah,” balas Jose bersemangat.

“Hei, Finley!” panggil teman yang mengenalinya. Dia baru saja masuk ke dalam, berjalan canggung di belakang Jose.

Nell melempar senyum lemah. Sedikit melambaikan tangannya sambil mengedarkan pandangan. Tentu saja mencari Cora dan Easton yang katanya sudah di dalam.

Di dalam, furnitur banyak digeser untuk memberi ruang pada puluhan remaja. Beberapa duduk memenuhi sofa. Tersebar ke ruangan lain di rumah besar itu. Suara stereo menyelinap di antara dengung obrolan. Nell terus berjalan dan membalas sapaan teman-temannya.

Di ruang makan, dia menemukan Cora memegang sepiring kue tart penuh icing. Easton berdiri di depannya memegang garpu kue, menyingkirkan icing warna biru ke tepi piring. Nell mendekati mereka.

“Oh, hai, Bubble!” seru Cora. Dia memandangi Nell dari atas ke bawah. Bersiul rendah. “Lucas bakal menyesal tidak melihatmu malam ini,” candanya.

Nell mendengkus keras. “Ewh, jangan sebut namanya. Sampai detik ini dia tidak mengirim apa pun. Aku jomlo malam ini,” sahut Nell.

“Setuju,” timpal Easton. Dia mengangsurkan sepiring kue dengan sedikit icing pada Nell. “Makanlah, semua sudah ambil sendiri-sendiri.”

Nell menerima sepotong kue coklat tersebut. “Apa ini tadi bentuknya?” heran Nell. Disendoknya kue tersebut. Rasanya enak dan manis tidak sesederhana penampilannya.

“Kotak biru,” jawab Cora. Dia memutar mata pada Nell yang mengerutkan dahi. “Beneran deh. Kotak balok warna gradasi biru.”

Nell memakan sesuap lagi. “Uh, uh, kenapa mereka sudah memotong kuenya?” keluhnya.

Cora mengunyah kuenya. Setitik icing mencoreng dagunya. Easton dengan cekatan mengelapnya dengan tisu yang entah diambil cepat dari mana.

“Mereka datang dengan lapar. Tim football, siapa lagi. Tahun ini kan Jose masuk tim lagi. Apa tidak bertemu mereka?” beritahu Cora.

Lihat selengkapnya