Dua orang dewasa saling menyikut dalam diam, dua netra mereka tak lepas dari dua orang lain yang kini duduk tepat di hadapan--saling membisu. Akan tetapi lebih dari Prita dan Aryo, Yasmin dan Ben lebih tak mengerti dengan semua situasi ini.
Selepas bertemu untuk yang pertama kali dalam raga yang cukup berbeda, selepas pelukan dalam mereka tadi, perasaan mereka justru berubah. Ada rasa cemas dan sakit--rasa kecewa dan marah--rasa rindu dan benci, menumpuk untuk memberi ruang asing yang begitu canggung.
Prita berdehem, "Kita bisa batalin sidang, kita bisa pakai mediasi kalau emang lu berdua masih bimbang. Kita nggak akan maksa. Pikirin baik-baik deh, klien gue nggak kalian doang."
Ben menoleh cepat ke arah Yasmin, hanya untuk melihat nafas tercekat Yasmin yang bergetar. Seumur-umur-- ia baru jadian dengan Yasmin satu tahun, dan Ben tidak pernah melihat Yasmin menangis.
Mungkin garis wajah yang kini ia lihat menjadi lebih halus--dan wajah dewasa Yasmin menjadi lebih cantik. Meski ruam hitam samar menghiasi bawah kelopak matanya, Ben masih bisa melihat bagaimana anggunnya Yasmin dalam wajah itu.
Ben masih bisa melihat sosok Yasmin yang ia kenali--terlebih pada moles yang menghiasi pipi rahang kirinya.
Itu masih sama dengan milik Yasminnya. Dan Yasmin itu kini tengah menangis--menyayat dengan hebat ulu hati Ben si bocah tujuh belas tahun itu.
Namun, saat sisi Ben yang dewasa turut andil dalam perasaannya, alih-alih menarik Yasmin dalam ketenangan dekapnya, Ben hanya lantas mengepalkan jari-jari tangan.
Tak jauh berbeda dengan Yasmin--alih-alih mengadu panjang lebar pada Ben, Yasmin hanya bisa menahan sesaknya sendiri. Jauh dalam lubuk yang tak bisa diterkanya, dekat dengan Ben membawa ngilu kebas dalam dadanya.
"Sejauh apa kamu sakiti aku, Ben?"
Aryo yang sedikit memahami situasinya, menghela napas panjang. Ia kemudian beranjak. Ia bawa tangan Prita untuk berdiri.
"Kita tunggu di luar. Kalian selesain--"
"Ya nggak bisa gitu dong!" potong Prita, "Kalau klien gue diapa-apain gimana? Temen lu itu kan guilttrip-nya parah! Gue nggak bisa ninggalin Yasmin. Kalau Ben abusive-"
"Ben nggak kayak gitu!" Yasmine berteriak.
Membuat ketiga kepala menoleh.
"Ben nggak mungkin kayak gitu ke aku."
"Yas?!" bingung Prita.
Tapi Aryo buru-buru menarik Prita dan berucap, "Nanti gue jelasin! Diem. Ikut gue."
Lalu selepas itu, Yasmine menatap kepergian dua pengacara itu dengan isakan yang tak berarti--meski menyesakkan, isakan itu tak kentara. Hanya dadanya yang terlihat naik turun cepat.
Ben di sampingnya ikut berdiri, ia raih pundah Yasmin untuk dibawanya kembali duduk, namun Yasmin dengan kasar menempisnya--dan mendudukkan dirinya sendiri.
"Kamu sejahat apa sih, Ben? Kenapa kamu selingkuhin aku? Kenapa kamu selalu nyalah-nyalahin aku? Kenapa kita jadi kayak gini? Kemana cinta kita tadi malam? Kemana kebahagiaan yang baru aku rasain tadi malam? Kenapa kamu berubah?!"
Nada Yasmine mulai meninggi, netranya yang sudah lebih basah itu menatap kosong Benjamin, "KENAPA KAMU BERUBAH?! Kenapa kamu jahatin aku?! KENAPA--"
"Sttss ... maafin aku, ya."