Yasmine menghela napas panjang setelah melihat gambar USG dari buku catatan kehamilannya. Faktanya, Yasmine dan Ben kehilangan bayi yang membuat mereka harus menikah waktu itu. Yasmine dapat mengingat dengan baik perjalanan hidupnya selama ini melalui diary-diary yang Yasmine tulis.
Kedua keluarga--keluarganya dan keluarga Ben, ternyata tidak berhubungan baik. Benjamin sendiri seolah dibuang, akan tetapi di saat bersamaan, kehadirannya dalam keluarga Yasmine juga tidak serta merta diterima.
Dalam buku diary-nya, Yasmine menulis banyak hal tentang kesulitan Benjamin. Ben rela bekerja dan menyuruh Yasmine kuliah. Selepas ia lulus, barulah Ben memulai pendidikannya lagi. Dengan dukungannya--Yasmine memaksa Benjamin kuliah dan ia akan membantu biayanya. Namun tidak berhenti, sang Papa justru menyuruhnya untuk meneruskan S2 di luar negeri.
Awalnya jelas Ben menolak, dan mereka kesulitan sebab Yasmine sendiri juga tidak ingin jauh dari Benjamin.
Lebih kesulitan lagi saat Ben diberi ancaman. Sang Papa mengancam Benjamin dengan ia yang mungkin tidak akan pernah bertemu dengan Yasmine kembali.
Pada akhirnya, Yasmine tetap pergi waktu itu, dan Ben pun tetap melanjutkan pendidikan dengan banting tulang sendirian.
Dari sana, Yasmine semakin tidak mengerti. Hubungan mereka benar-benar tidak mudah, dari berapa banyaknya badai yang mereka lalui, lantas ... dari mana awal kehancuran ini?
"Apa Ben capek?" gumam Yasmine sendiri.
Lalu saat melihat gambar mereka dengan dua bayi dalam pangkuan masing-masing, Yasmine tersenyum getir, "Nggak mungkin," katanya dalam helaan napas panjang, "Dulu Ben bilangnya, hanya karena aku ada, capeknya jadi hilang."
"Atau ... kamu capeknya sama aku, Ben?" renungnya menahan tangis.
Yasmine kemudian menutup diary itu, dan beralih pada setumpuk berkas yang sedari tadi menunggunya--bukti perselingkuhan Benjamin.
Yasmine belum sampai meneliti sampai akhir, akan tetapi lembar kertas pertama yang memperlihatkan gambar romantis Benjamin dengan perempuan lain, sudah berhasil membuat tangis Yasmine yang sedari tadi ia pendam--luruh.
Yasmine terisak hebat--dan ketika itu pula, Yasmine tujuh belas tahun menyadari, jika masalah ini benar-benar serius--Benjamin benar-benar meluluh lantakkan hatinya--seorang laki-laki yang masih menjadi orang yang paling ia sayang kemarin, berhasil merobohkan dinding bahagianya.
Dan pada titik ini, Yasmine benar-benar kebingungan.
"Mama, dont cry ...." teriak kecil dari seorang anak laki-laki.
Tinggi Leo mungkin sudah nyaris semampai dengan Yasmine, namun ketika anak itu lebih memilih untuk menjatuhkan buku gambarnya dan berlari memeluk Yasmine, ketika Yasmine membalas pelukkannya ... rasanya kian meledak, "Dia bayiku."
Yasmine semakin terisak hebat--dalam beberapa menit dalam dekapan kecil Leo.
Namun setelah nyaris tenang dan melerai pelukannya, Yasmine tersenyum lirih dan berkata, "Mama cuma kelilipan kok."
Membuat Leo merotasikan mata, "Dont lie, Ma. Leo ini sudah besar. Kata Om Jake, nanti kalau sudah SMP, Leo bakalan banyak temen. Jadi ... Leo is oke kok, kalau kita harus pergi tanpa Papa. Leo is oke kok kalau Papa diambil sama Mrs. Gita. Leo is oke ... kalau cuma hidup berdua with Mama and Lia. As long as, Mama is happy, dan nggak nangis-nangis lagi."
"Kok Leo ngomongnya gitu?"