TAHUN ajaran pertama dimulai, semua cabang seni yang ada di Star Art School dituntut untuk menunjukan bakat mereka masing-masing melalui pentas seni yang akan diadakan besok pagi, bertepatan dengan peresmian para siswa baru yang bergabung di Star Art School. Dalam pertunjukan itu, setiap cabang seni diwajibkan melibatkan para murid baru untuk berpartisipasi.
Sialnya. Angel yang memilih cabang seni teater ikut dilibatkan dalam acara itu juga, ia harus berperan sebagai Cinderella dalam pementasan tersebut. Sekarang Angel berada di ruang latihan bersama beberapa temannya yang juga terlibat dalam pementasan drama. Lebih sialnya lagi Angel harus dipasangkan dengan Dicky, si cowok absurd bin bebal yang berperan sebagai pangerannya.
“Lo bisa dansa nggak, sih? Dari tadi kerjaan lo nginjek kaki gue mulu!” tanya Angel menahan kesal.
Dicky berdecak sebal karena gadis itu terus saja mengomel. “Maka dari itu, lo harus ajari gue! Lo taulah gue paling benci dansa-dansa konyol kek gini,” kata Dicky sambil mencebikkan bibirnya.
“Dansa konyol lo bilang? Ya Tuhan, Dicky!! Berapa kali lagi gue harus ngajarin lo?! Dasar lonya aja yang bebal!” geram Angel gereget, ingin sekali ia mencekik leher cowok sialan itu.
“Lo ngajarinnya cepet banget, otak gue yang sudah terpenuhi oleh naskah drama, jadi bentrok sama ocehan lo yang bikin gue sakit telinga!” balas Dicky sembari mendengkus kesal.
Buku-buku jari Angel memutih karena dikepal. Demi Tuhan Angel ingin mencekik Dicky detik ini juga. Padahal sudah jelas-jelas ia memberikan pengarahan yang pelan.
“Sekali lagi gue ajarin! Kalau lo masih juga bebal, lo minta ajarin aja sama Mrs. Anna,” ucap Angel sesabar mungkin
Gadis itu juga tidak mau mempermalukan dirinya dalam pementasan nanti, setidaknya adegan inti ini harus bisa terlewati tanpa adanya kendala yang ditimbulkan oleh Dicky.
“Fine, tapi gue mohon lo pelan-pelan kasih arahannya! Di samping gue sayang sama telinga gue karena takut terkena polusi suara, gue juga kasihan sama suara lo yang sudah hampir menghilang.”
Angel hanya bisa menghembuskan napasnya pasrah, entah itu bentuk kalimat prihatin atau ejekkan. Angel tidak memusingkannya lagi. Hal terpenting saat ini adalah cowok itu harus bisa berdansa dengannya tanpa kendala sedikitpun.
“Buruan lo sini!” perintah Angel setengah berteriak, Dicky pun beranjak dari duduknya dan mengambil posisi di hadapan gadis itu.
Dicky pun menempatkan tangan kanannya di belakang punggung Angel, begitu pun Angel yang menempatkan tangan kanannya di belakang punggung Dicky. Sedang tangan kiri mereka saling menggenggam satu sama lain, gadis itu tertegun sesaat ketika mata mereka bertemu pandang.
“Lo harus ingat, hal pertama yang harus lo lakuin sebelum memulai gerakan, yaitu hayati alunan musiknya terlebih dahulu. Lalu, lo perlahan mulai bergerak ikuti iramanya,” ujar Angel memberikan pengarahannya.
Dahi Dicky berkerut samar. “Terus, gimana cara gue supaya bisa menghayati alunan musiknya?” tanya Dicky dengan suara datarnya.
“Lo cukup berpikir keras aja, perasaan apa yang lo rasakan saat ini ... misalnya, seperti lo mencintai sesuatu atau ... seseorang, itu tergantung dari diri lo sendiri.” Dicky hanya mengangguk paham mendengarnya.
“Ren, tolong putar musiknya!” perintah Angel pada salah satu temannya yang bertugas untuk menghidup matikan musik.
Alunan musik mulai mengalun indah di ruang latihan seni teater, perlahan Angel dan Dicky memulai gerakan dansanya. Gerakan yang sederahan, tetapi terkesan elegan bagi siapa saja yang melihatnya. Semua pasang mata yang berada di ruang latihan terpukau dengan gerakan dansa mereka. Dalam hati, Angel mengucap ribuan syukur karena Dicky perlahan sudah mulai bisa menyeimbangi gerakannya. Sekarang cowok itu tidak lagi sekaku saat pertama kali mereka latihan.
Gerakan dansa mereka berakhir tepat saat alunan musik berakhir juga, ini adegan yang paling buat Angel deg-degan tidak karuan, adegan saat di mana sang pangeran melamar Cinderella. Dicky sudah berlutut di hadapan Angel sambil memegang kedua tangan gadis itu, lalu mendongak menatap Angel.
“Will you be mine?”
Setelah mengatakan hal itu Dicky mencium tangan Angel. Angel baru tersadar karena dialog yang diucapkan Dicky barusan tidak ada di dalam naskah drama. Buru-buru gadis itu menarik tangan dan menoyor jidat Dicky.
“Lo ya, Ky! Bener-bener bikin gue kesal, sumpah! Yang lo ucapin tadi itu nggak ada di naskah bego!” ujar Angel sembari bergidik jijik.
“Ahayy ciee ...,” goda teman-temannya.
Dicky beranjak dari posisinya. “Yaelah, bilang aja. Lo tadi baper, ‘kan? Padahal gue pura-pura improvisasi aja tadi buat liat ekspresi lo. Ternyata bener muka lo merah,” kata Dicky enteng sambil tertawa keras.
Angel yang kesal langsung menginjak kaki Dicky. Gadis itu keluar dari ruang latihan dengan wajah merah menahan kesal.
“Huuu ... baperan lo jadi cewek!” ejek Dicky setengah berteriak.
***
Angel tak henti mengomel sepanjang jalan. Gadis itu kesal dengan perlakuan Dicky yang mempermalukannya di hadapan teman yang lain.
“Brengsek emang tuh orang, gue udah capek-capek kasih pengarahan. Eeh, malah bikin emosi, pengen banget gue tonjok muka songongnya,” gerutu Angel.
Aksi ngomong sendiri yang dilakukan Angel menarik perhatian hingga salah satu cowok menatapnya dengan tatapan heran.
“Apa lo liat-liat? Lo baru sadar kalo gue cantik, ha?” tanya Angel garang.
Cowok itu bergidik ngeri melihat Angel. “Cantik-cantik tapi otaknya geser,” kata cowok itu lalu berjalan cepat meninggalkan Angel.
“Enak aja kalo ngomong. Lo tuh otaknya yang geser!” sahut Angel.
Sambil kembali mengomel Angel melanjutkan langkahnya, tubuhnya seolah bergerak sendiri membawanya menuju ke taman belakang sekolah. Setelah melihat salah satu kursi yang terbuat dari kayu kosong, tanpa pikir panjang Angel segera mendekatinya dan duduk di sana.