Chapter 2
TIGA TAHUN KEMUDIAN
SETELAH memutuskan keluar dari cabang Seni Teater, Angel mengajukan proposal pembentukan cabang seni baru, yaitu Cheerleaders. Awalnya proposal pengajuan Angel ditolak mentah-mentah oleh kepala sekolah, dengan alasan cheers bukan salah satu cabang seni. Namun, Angel berusaha meyakinkan kepala sekolah bahwa cheerleaders yang ia ajukan bukanlah sekedar pemandu sorak untuk menyemangati tim basket yang tengah bertanding, melainkan dengan artian seni gerak indah. Alhasil Angel berhasil diberikan amanat untuk memimpin cabang seni baru itu.
Terbukti cabang seni yang Angel pimpin sekarang berkembang dengan pesat, karena beberapa kali mendapatkan medali perak di ajang perlombaan yang termasuk dalam kategori seni juga.
Di sinilah Angel sekarang berada, di ruang latihan tengah memandu para anggotanya yang sedang berlatih. Beberapa kali ia berdecak kesal melihat Alexa—salah satu anggotanya yang sekarang menyandang posisi flyer—beberapa kali kehilangan konsentrasi.
“Lexa, lo bisa nggak sih sedikit aja lebih fokus lagi?! Gerakan lo tadi bisa bikin diri lo celaka sendiri bego,” ujar Angel kesal.
Alexa yang dibentak hanya bisa menunduk. “Ma—maaf, Kak,” ujarnya terbata.
“Gue nggak butuh maaf lo, sekarang yang gue butuhin itu bakat lo ... kalau lo kayak gini terus. Gue rasa lo perlu mikir buat pindah jurusan,” ucap Angel tegas.
Angel memang terkenal dengan sistem pelatihannya yang begitu keras. Ia bahkan tidak segan-segan menegur secara kasar, baik anggota yang seangkatan maupun para juniornya. Angel paling benci membuang-buang waktu hanya untuk berkoar-koar menjelaskan kembali teknik-teknik yang sudah ia ajarkan sebelumnya.
“Kak, saya rasa kakak gak perlu marah-marah begitu, deh. Kalau Lexa buat kesalahan itu wajar aja, Kak, mungkin dia masih kepikiran sama orang tuanya yang baru aja masuk rumah sakit,” bela Risa yang menyandang jabatan sebagai sekretarisnya.
“Ya, setidaknya dia bisa bedakan, mana urusan pribadi dan mana keprofesinolitasan. Kalau dia begitu terus. Gue nggak yakin dia bisa jadi flyer yang baik.” Angel mengatakan alibinya.
Gadis itu berusaha meredam emosinya sembari berbalik arah menghadap cermin berukuran besar yang mereka gunakan untuk latihan, sejenak ia menarik napas dalam. Angel tahu ia sudah berlebihan dalam melatih para anggotanya, tapi itulah Angel. Ia menginginkan cabang seni yang ia pimpin sekarang tidak lagi dipandang sebelah mata oleh orang-orang.