"Heh! Ngapain kamu duduk dibelakang??!! Pindah!"
Dylan yang berteriak marah dari kursi kemudinya tidak kupedulikan. Aku tetap duduk dikursi belakang mobil bersama teman Dylan. Laki laki disebelahku ini tersenyum canggung padaku. Itu serigala hati kok disimpen didengkul gini sih?! Gak tau anak orang lagi butuh pengobatan apa??
Kumajukan wajahku hingga tiba disamping kepala Dylan. Dia membalas senyuman manisku dengan tatapan sengit seperti akan mengajak perang. "Dia anak manusia, kalau kubiarkan, bukan kamu saja yang lepas kendali tapi, aku juga, sayang."
Dylan berdecih tanpa berkomentar. Sudah kuduga pasti seratus persen dia bungkam jika kugombalin. Tanpa ada perdebatan lagi, Dylan mulai menjalankan mobil. Dengan begini aku bisa kembali mendudukkan diriku dengan tenang.
"Maaf, aku nggak bisa bawa pulang kamu dulu. Lukanya sedalam ini, aku nggak tau." Kataku setelah melihat lengannya yang terluka. Ada tiga garis cakaran yang paling dalam cakarannya. Aku mendongak untuk melihat ekspresinya, terlihat syok. Sungguh tidak memungkinkan.
"Oh ya, aku belum kenal kamu." Aku tertawa canggung. Ini aku malah ikutan bego ketularan Dylan kali ya? Dari tadi ngajak ngobrol tapi, gak tau nama. Hh..
"Andi, panggil aja gitu."
Aku mengangguk sekedarnya. Malah canggung?! Sebelum kewarasanku semakin hilang karena mencium aroma darah, aku mengeluarkan sapu tanganku yang juga tersimpan disaku rok. Karena ada darah yang sudah mengering, aku membasahi sedikit sapu tanganku dengan air minum yang tersimpan dibalik kursi Dylan.
"Dyl, minta air yang disini ya."
"Hmm."
"Dyl, langsung kerumah tuan Vlad."
"Hmm."
"Dyl, ambilin hape ku."
"Hmm."
"Dyl, kok lo jelek si??"
"APA HAH??!! ORANG LAGI SIBUK NYETIR GAK LIAT APA?!!" Dylan menoleh cepat dengan mata melotot. Tawaku meledak melihatnya yang begitu kesal.
"Aduh masnya, itu lagi nyetir lho. Gak mau kan kalo besok ada berita tentang dua orang yang tewas didalam mobil karena kecelakaan tanpa ada orang di supir kemudi. Serem gak tuh?"
Dylan mendengus, meski begitu di kembali fokus dengan kemudi mobilnya. Aku masih saja tertawa. Kapan lagi aku bisa buat Dylan kesel bertubi tubi kayak gini?
"Orang lo?" Katanya sinis. Aku tersenyum lebar kearahnya.
"Iya dong, masa lupa?"
Seperti yang sudah kuduga, dia hanya berdecih. Sudah capek mungkin debat. Aku menarik pelan lengan Andi yang terluka. Dia memakai kaos lengan pendek, tidak bisa dipungkiri lagi jika kenyataannya dia jadi bisa terluka lebih parah.
"Maaf ya, mungkin akan sedikit sakit. Aku cuma bersihkan darahnya."
Aku memang tidak ahli dalam mengobati luka jadi aku hanya berani membersihkan sekitar lukanya. Aku tidak mau mengambil resiko jika nantinya semua orang dikediaman father akan menggila karena mencium bau darah. Setelah sekiranya lengan Andi sedikit bersih, aku melipat sapu tanganku dan mengikatnya dilengan Andi. Ini sedikit lebih baik.
"Kamu harus ikut denganku atau luka itu akan melukaimu selamanya." Aku mengeluarkan ponsel dari saku rokku, mencari nama Fred didalamnya. Andi terlihat begitu keberatan. Aku sebenarnya juga keberatan mau membawanya ke ladang monster tapi, luka dari makhluk sepertiku jika dibiarkan akan berdampak buruk bagi manusia. Andi menghela nafas, aku bisa mendengarnya. Helaan nafas orang yang putus asa atau pasrah.
"Fred?" Aku langsung menyapa dengan dingin ketika panggilanku sudah dijawab.
"Ya, lady. Ada yang bisa saya bantu?"
"Katakan pada Tuan Vlad jika malam ini aku membawa seorang tamu."
"Baik."