Gadis itu mendengarnya sangat jelas sehingga dia diam sebentar ditempatnya. Detik berikutnya gadis itu tertawa keras dan seperti biasa langsung menghentikan tawanya tiba tiba. Wajahnya terlihat datar sekali seperti tidak ada tawa diwajahnya sebelumnya. Tangan gadis itu terlipat didepan tubuhnya menunjukkan betapa angkuhnya lengkap wajahnya yang mendukung.
"Yang mulia terhormat. Setiap bangsa vampir sudah diciptakan memiliki mate-nya masing masing sejak lahir. Anda ingin menolak mate anda sendiri?"
Alex hanya diam. Tapi matanya lurus menatap Samantha tanpa ekspresi apapun. Seperti tidak terbaca apa yang ada dipikirannya itu.
"Dan perlu diingat, saya cukup memiliki satu keluarga utuh tanpa kehadiran orang lain didalamnya." Samantha melanjutkan ucapannya dengan sangat dingin. "Jadi, saya minta dengan sangat hormat yang mulia meninggalkan tempat ini dengan segera."
Alex diam sebentar sebelum berbalik kearah balkon lagi. Senyum aneh tercetak diwajahnya lalu pergi begitu saja melewati beberapa atap gedung. Samantha yang melihatnya hanya bisa menghela nafas sambil mendudukkan dirinya diatas kasur. Tangannya memegangi kepalanya yang berdenyut.
"Mate? Jangan bercanda."
Gadis itu tertawa sendiri, badannya kembali bergerak menuju kamar mandi. Persis ketika dia akan masuk kedalam kamar mandi, ponselnya yang berada diatas meja berdering.
Tubuhnya diam memperhatikan ponselnya yang terus berbunyi lalu mati. Detik berikutnya ponselnya berdering kembali. Samantha mendengus kesal tapi, dia tetap saja mendekati ponselnya itu. Rasanya dia mau bersumpah akan menyiksa orang yang sedang mengganggunya.
"Maaf, telah mengganggu anda, lady"
Suara Fred menyapa setelah jarinya menerima panggilan itu. Samantha berdeham, dia masih kesal sekali.
"Duke of North meminta agar pertemuan dilakukan diperbatasan."
"Terima saja."
"Baik, lady."
Gadis itu berdecak kesal. Dia pikir akan ada info yang lebih penting dari itu. Mungkin untuk sekarang dia harus menenangkan diri seperti biasa.
~~~
"Selamat datang, duchess."
Laki laki bertubuh tinggi tegap dengan wajahnya yang ramah menenangkan menyapa gadis didepannya. Samantha mengangguk pelan sebagai jawabannya.
"Silahkan duduk, meski kita tau pembicaraan ini terjadi tidak akan lama."
Dia tertawa renyah sambil duduk diikuti Samantha. Gadis itu terlihat tenang sekali dengan wajah datarnya. Pakaiannya yang berwarna biru terlihat serasi dengan matanya. Rok dan blazer yang dia kenakan berganti menjadi warna putih. Laki laki dihadapannya tentu memperhatikan dengan sangat baik jika gadis dihadapannya terlihat seperti malaikat.
"Terima kasih atas perhatiannya, Tuan Shalome."
"Jadi, kamu sudah tau alasanku memindahkan pertemuan kita?"
Gadis itu mengangguk seadanya. Jelas dia tahu tapi, bukan itu yang ingin ia bahas sekarang.
"Langsung saja ke pembicaraan sebenarnya, tuan."
Athala menggeleng pelan meski senyuman masih menghiasi wajahnya, rasa keberatan seakan menimpanya.
"Kita hanya berdua saja, Sam, tidak perlu sekaku itu."
Samantha mengangkat bahunya tidak peduli. Jelas dia tahu orang dihadapannya ini hanya tiga tahun lebih tua dibanding dirinya. Dia hanya tidak ingin repot basa basi atau sejenisnya.
"Kalau itu membuat pembicaraan kita menjadi panjang aku menolak." Jawab gadis itu dingin.
"Tidak akan, aku jamin itu."
Setelah pembicaraan basa basi singkat itu, Athala mengetuk ujung meja dihadapan mereka berdua. Meja yang awalnya coklat polos bergantikan tablet layar sentuh. Samantha tidak lagi merasa kagum, ini semua sudah terlihat biasa baginya.
"Menurutmu, bagaimana masalah saat ini?" Athala berbicara dengan tangan masih bergerak menyentuh tablet.
"Adu domba."
"Oh ya? Bagaimana kamu bisa beranggapan seperti itu?" Athala tidak melepas pandangan matanya dari layar. Tapi, bibirnya tertarik untuk tersenyum.
"Rakyat 'ku' tidak akan berani melakukan hal seperti itu tanpa keberanian yang luar biasa."
Athala justru tertawa pelan. "Boleh juga percaya dirimu, nona." Meski begitu dia tidak menampik kenyataan satu itu. Gadis didepannya jelas masih sangat muda bahkan juga bersekolah didunia manusia. Tapi, ketegasannya dalam mengatur wilayah timur sangat mengerikan sekaligus menakjubkan. Tidak seberani dirinya mengambil tindakan.
Setelah cukup lama berkutat dengan layar sentuh, tablet itu kini menampilkan rekaman yang terjadi diwaktu seperti yang dikabarkan. Mereka memperhatikan layar itu dengan teliti. Pemberontakan yang dilakukan cukup parah, sehingga Athala meletakkan tangannya didagu. Mereka berdua tenggelam dalam pikiran masing masing tapi, mata mereka fokus memperhatikan.
"Bagaimana tanggapanmu?" Athala membuka suaranya lebih dulu. Gadis didepannya seperti sedang menimbang nimbang sesuatu. "Mereka membuat kerusakan cukup parah. Jadi, dua hari yang lalu aku sendiri yang pergi kesana untuk memastikan." Lanjutnya.
"Aku bisa memastikan itu bukan ulah rakyatku." Samantha menarik nafas sejenak. "Aku pernah bertemu salahsatu dari mereka."
"Oh ya?" Athala menegakkan tubuhnya, jelas dia tertarik.
"Mereka juga menyerang manusia, aku jadi khawatir jika mereka sekelompok pemberontak kekaisaran. Salahsatu dari mereka tidak menjawab pertanyaanku, dia lebih memilih mati."
Athala menunduk sebentar lalu mengangkat wajahnya. Memperhatikan gadis berumur tujuh belas tahun dihadapannya.
"Aku menawarkan kerjasama? Bagaimana?"
"Apa yang kamu harapkan?"
"Akhir akhir ini banyak kerusuhan dan aku sudah menangkap beberapa. Berhubung ini kamu, buat mereka bicara."
Samantha tetap diam, menunggu kelanjutan ucapan Athala. Disaat yang bersamaan pikirannya menimbang tawaran itu. Tawaran yang mudah, tapi tidak tahu apa yang akan menjadi persyaratannya.
"Lalu, aku akan membantumu dalam penjagaan perbatasan wilayah timur dengan manusia."