Our Happiness

Nafidza Ainun Salsabila
Chapter #13

Her Friend

Waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam tapi, masih bisa kudengar beberapa anak yang mengobrol dan cekikikan tidak jelas di kamar mereka. Aku hanya bisa menggeleng pasrah. Memang bukan bagianku untuk menenangkan mereka. Tapi, jika mereka berisik sampai keterlaluan aku bisa menegur mereka.

Koridor asrama untuk adik kelas dan beberapa kamar untuk pengurus sudah gelap. Ditambah beberapa dari mereka sengaja mematikan lampu kamar mereka. Aku mengerti jika kondisi asrama disini lebih tenang dibanding asrama lain yang isinya teman seangkatan dan kakak kelas satu tingkat diatasku. Asrama disana pasti lebih berisik karena jam tidur mereka berbeda. Ditambah yang mengurus asrama itu langsung dari ibu pengasuh asrama. Bisa dikatakan disana sedikit lebih bebas karena sedikitnya pengawasan.

Ketika aku sudah tiba didepan kamarku, aku sekali lagi menghela nafas berat. Kamarku sudah gelap padahal aku sendiri belum pulang. Selalu seperti ini, beban banget kalau nunggu aku pulang seperti tidak mau repot nunggu. Bisa jadi dua teman sekamarku itu mengira jika aku tidak kembali keasrama. Ya salahku memang telat separah ini hanya demi acara beberapa hari kedepan.

Pintu kubuka cukup pelan, takut tidur mereka terganggu. Ah, tidak, aku bergerak pelan karena pernah aku 'sedikit' berisik dan salahsatu teman kamarku ini menegurku dengan wajah kesal dan tidak enak untuk dilihat. Parahnya, bukannya aku merasa bersalah aku justru lebih kesal dibanding dirinya. Aku hanya sedikit menghindari emosiku tumbuh hanya karena 'dia'.

Tanganku gesit bergerak meletakkan blazer dan jubah itu didalam lemari. Mengambil baju tidur dan meletakkannya diatas kasur. Kakiku melangkah kembali mendekati pintu dan mengambil peralatan mandi. Mungkin ini akan menjadi istirahatku setelah beberapa hari tanpa tidur.

~~~

Pagi hari ini seperti biasa aku datang nyaris telat kesekolah. Alasan pertama bukan karena ketiduran atau bagaimana tapi, demi mengantri makan diruang makan yang semakin ramai jika hampir bel masuk sekolah.

"Aca!" Perempuan berambut coklat hazel sebahu berjalan cepat kearahku. Demi melihatnya antusias, aku tersenyum. Tapi, setelah dia ada dihadapanku, dia justru cemberut. Rasanya aku bisa menebak apa yang membuatnya kesal.

"Tega banget kamu, ca. Kita udah nggak main dari kapan? Belum lagi aku telfon kamu dari kemaren nggak nyambung terus. Kenapa sih?" Amanda dengan segala rentetan kekesalannya sedikit membuatku merasa bersalah. Mau bagaimana lagi? Pekerjaan tidak bisa ditinggalkan.

"Sori banget, man. Aku ada banyak urusan yang nggak bisa ditinggalin gitu aja."

"Kok kayaknya setiap liburan kamu sibuk terus?" Amanda kini memandangku dengan curiga. Aku hanya bisa nyegir kuda.

"Kamu kesini cuma mau bilang itu doang?" Bukan apa apa, aku hanya merasa kasihan dengan Amanda karena kelas kami yang berbeda dan tidak saling berdekatan. Dari kami dan Dylan menjadi sahabat, aku hampir tidak pernah sekelas dengan mereka. Dan hebatnya Amanda akan sekelas dengan Dylan tiga tahun berturut turut. Aku merasa terkucilkan.

"Ya enggak sih, aku heran aja. Kenal Andi nggak?"

Aku diam sejenak. "Ng, yah, tau nama." Bagaimana aku bisa melupakan orang itu? Dia manusia pertama yang kubawa masuk ke tempat berbahaya bagi semua manusia. Dan dia manusia pertama yang keluar selamat setelah berurusan denganku.

"Dikelas dia sama Dylan lagi ngomongin kamu. Tumben banget kamu jadi bicaraan orang lain." Aku terpaksa tersenyum karena Amanda yang masih menatapku heran. Sebentar lagi Dylan mungkin akan menghubungiku, meski kemungkinannya sangat kecil. Karena dia baru saja bicara dengan Andi. Mungkin saja mereka membicarakan kejadian waktu itu.

"Oh ya? Bicarain apa emang?"

"Gak tau juga, bicarainnya bisik bisik soalnya. Tapi, kayak denger kalo mereka-"

Suara bel sekolah sudah berbunyi. Amanda yang taat peraturan sekolah, segera kembali kekelasnya. Aku hanya mendesah berat kecewa. Perkataannya menggantung sekali. Mungkin aku harus memastikannya meski tidak sekarang.

"Sam, lemes banget. Nggak makan?" Rei menarik kursi disebelahku dan duduk diatasnya. Aku menoleh sejenak.

"Makan, hampir telat tadi. Masa gak liat?"

"Liat, cuma kayak gak percaya aja soalnya muka lo lemes kayak habis olahraga."

"Lemeslah, habis ini kimia." Aku merengut kesal. Pelajaran yang tidak kusukai justru ada dihari senin jam pertama. Ayolah, seorang duchess tidak perlu pelajaran kimia!

"Kimia gampang kali, sam." Rei menyengir lebar sementara Aku balas melotot. Mulut lancar banget kayak sungai!

"Tau deh, orang pinter beda kan ya. Balik gih sana." Tangan kananku sibuk mengusirnya sedangkan tangan kiriku tengah menopang daguku. Jujur aku malas berurusan sama ketua kelas rese satu ini. Mungkin selama hidupnya hanya menyusahkan orang yang dia tahu.

"Balik? Kemana? Gue baru aja pulang kerumah kemaren."

"Balik ketempat dudukmulah pinter! Kecut tau gak lihat mukamu dikelas!" Aku mendengus keras. Sedangkan orang disebelahku ini sudah cengar cengir tidak jelas.

"Yah, Sam. Deskmate pinter gini masa mau disia siain?" Tanpa sadar aku menegakkan tubuhku, sementara dia masih tersenyum kalem diatas kursinya.

Benar juga! Aku lupa kalau jumat kemarin undian ganti tempat duduk. Parahnya aku akan satu bangku dengan manusia aneh satu ini selama dua minggu. Kepalaku sakit.

"Mohon bantuannya, deskmate."

~~~

Lihat selengkapnya