"Butuh bantuan, lady?"
Aku mengernyit. Bagaimana Dylan bisa datang menemuiku? Tanpa menunggu jawaban dariku, Dylan berjongkok disampingku. Matanya serius sekali memperhatikan rantai emas yang melilit tubuhku.
"Jadi, kamu diserang penyihir?"
Aku melengos keberatan.
"Mungkin iya tapi, bisa enggak."
"Kok?" Dylan bertanya kebingungan.
Aku semakin menautkan alisku. Tubuhku rasanya sakit dibanting hampir dua kali tanpa perasaan. Belum lagi luka gores dipipiku, bagaimana dia bisa menyimpulkan jika aku hanya diserang penyihir??
"Aneh sih, penyihir nggak suka bertarung jarak dekat."
"Menurutmu??"
Dylan menyengir tanpa dosa, lihat mukanya yang ingin kuhancurkan itu. Benar benar menyebalkan!
"Yah, kurasa penyihir nggak dipihak manapun." Jari telunjuk Dylan terulur menyentuh rantai yang masih membelit tubuhku. "Tanpa kamu cerita kayaknya aku tau kronologinya."
"Sok tau!" Aku berdecak sebal.
"Kamu diserang makhluk berkuku tajam, kemudian penyihir datang dan ikut menyerang makhluk berkuku tajam itu tapi, aneh juga sampe harus mengikat kamu begini. Repot." Dylan mengerakkan bola matanya kekanan dan kekiri bergantian. Dia terlihat berpikir sejenak.
"Kenapa kamu nggak mikir kalo penyihir gak nyerang aku?"
"Yah, penyihir sudah pasti buat kamu lebih menderita daripada sekarang." Katanya sambil mengangkat bahunya singkat.
Aku melengos. Sesantai itu??
"Penyihir sialan itu juga tau identitasku." Ujarku singkat. Dylan mengangguk takzim seperti tidak mendengar sesuatu yang mengejutkan.
"Bukan sesuatu yang mengejutkan buat kita yang berbeda gini, ca." Dylan bergumam pelan. Matanya kini beralih kewajahku. Tangannya terulur kearah pipiku yang terluka. Kujauhkan mukaku dari jarinya yang akan menyentuhku.
"Jangan sentuh!" Aku mendesis galak. Awas saja meremehkan peringatanku!
"Kayak yang udah kubilang, penyihir ini aneh. Dia menolongmu tapi, justru mengikatmu cukup lama begini dan tidak mau repot repot menyembuhkan lukamu. Padahal dia tau kalo kamu duchess. Seharusnya dia segan sama kamu." Sekali lagi aku harus memperhatikan wajah berpikirnya untuk kesekian kalinya. "Cewek? Cowok?"
"Cowok. Suaranya dibuat rendah banget dah gitu sambil bisik bisik disamping telinga. Nggak mau ketauan kali." Dylan mengangguk.
Ikatan rantai emas ditubuhku melonggar, aku menunduk demi melihat rantai itu sudah memudar warna dan wujudnya. Aku berdiri hingga perlahan rantai itu menghilang sepenuhnya. Dylan ikut berdiri disampingku. Aku menghela nafas berat dan berjalan mengambil tasku yang sempat kulempar ke orang berjubah sialan tadi.
"Katanya kamu sakit ya, ca." Dylan menatapku sinis begitu melewatinya. Aku tersenyum tipis dan memilih tidak melanjutkan langkahku.
"Iya, iri?"
"Gila! Iri gimana?!!"
"Yah, mungkin aja. Dah lah, sibuk ini." Dylan menahan pergelangan tanganku. Sekali lagi aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan kuat. Kenapa banyak orang yang suka menahanku dari pergelangan tanganku?? Ini menganggu!
"Apa lagi?" Kataku jengah.
"Kamu.. akan pergi kehutan?" Aku menarik nafas panjang. Tebakan pria satu ini selalu tepat.
"Mau apa lagi? Kesibukanku? Tuntutan pekerjaan? Asal kamu tau, aku punya kontrak kerja dengan Duke Shalome."
Dylan tidak menjawab atau memberikan reaksi apapun. Kutarik tanganku hingga lepas dari tangannya. Tatapan matanya seperti terkejut. Tidak kentara sehingga aku tidak bisa benar benar memastikannya. Detik berikutnya Dylan mengedipkan matanya berkali kaki lalu berdeham pelan.
"Kesana pake apa?"
"Kekuatan. Fred juga sudah menyiapkan kuda dipinggir hutan."
"Kuda? Mobil sama motormu dinganggurin?" Entah itu bentuk rasa sinisnya atau prihatin dengan kendaraanku, aku tidak peduli.
"Aku milih rute berbeda buat kesana."
"Kenapa?"
"Ada yang menguntit." Suara kupelankan hampir seperti berbisik Aku tersenyum tipis. Dylan tidak lagi berkomentar dan melepaskan cekalan tangannya dilenganku. Ketika aku berbalik, aku sudah mendapatkan Amanda dibelakangku. Demi kedatangannya yang tiba tiba, aku tersenyum.
"Hai, Am-"
"ASTAGA! SAMANTHA PIPIMU KENAPA?!!"
Aku meringis, teriakannya terlalu memekakkan telinga.
"Kamu nggak niat bunuh kita karena teriakanmu itu'kan, man?" Dylan mendengus, tangannya ia gunakan untuk mengusap kedua telingannya. Aku tau Dylan hanya bercanda, jadi aku tertawa pelan. Mana bisa dia mati?