Our Happiness

Nafidza Ainun Salsabila
Chapter #16

Condemnation

Seorang gadis kecil menangis hebat diatas pusara ibunya. Kedua tangannya yang kecil sangat erat memeluk batu nisan disana. Para pelayat perlahan berkurang seiring bertambah gelapnya hari. Seorang laki laki dengan pakaian serba hitam belakangnya hanya diam. Sudah tidak ada lagi tangis diwajahnya. Tangisnya sudah tumpah begitu melihat sendiri kematian menjemput wanita yang begitu ia cintai. Hatinya sudah terluka begitu dalam, hingga dia tidak lagi tahu apa yang ia rasakan. Telinganya seakan dibuat tuli karena rasa sakit dihatinya.

Seakan baru sadar jika hari sudah gelap, laki laki itu mengadahkan wajahnya lalu menarik nafas dalam dalam. Tanpa aba aba, ia segera menarik tangan gadis kecil dari batu nisan. Gadis kecil itu meronta tidak terima, tangisnya terdengar semakin keras. Mulutnya tidak henti berteriak menyebut sang bunda.

Sang ayah menarik lengan gadis kecil itu sangat kuat. Tidak ada lagi kekuatan didalam diri gadis kecil itu meski ia ingin sekali memberontak dan tetap disamping nisan sang bunda. Tangisnya terputus putus, mengambil nafas dan menyebut sang bunda tiada hentinya. Sang ayah yang tidak lagi tahan, menghempaskan tubuh anak perempuannya ke kursi mobil setelah membuka pintu mobil.

"BERHENTI MENANGIS! TIDAK TAU JIKA TANGISANMU ITU BERISIK, HAH?!!"

Tangisan gadis kecil itu berhenti sejenak. Matanya menatap sang ayah nanar, tidak pernah ia percaya ayah yang selama ini ia sayang dan selalu berbicara lembut, meneriakinya sangat keras. Hatinya terasa semakin diremuk. Baru saja ia memikirkan sang bunda yang meninggalkan dirinya, sekarang ayahnya sendiri membentaknya dan tidak mempedulikannya. Gadis kecil menangis pelan sesenggukan, tidak lagi berani melawan sang ayah.

Pria dewasa berumur tiga puluhan itu berdecak kesal, membanting pintu mobil kuat kuat. Hatinya semakin sakit, pikirannya kacau. Ia tidak lagi sanggup berpikir. Seperti tidak ada lagi harapannya untuk tetap hidup. Senyuman getir terbit diwajah laki laki itu. Rasanya ia memiliki harapan baru didalam dirinya.

Tidak bisakah ia menemui istrinya sekarang?

~~~

Setelah aku sedikit 'bermain' dikediaman Athala dua hari yang lalu, aku segera kembali ke asrama dan menyibukkan diriku karena demi acara hari ini. Acara berjalan sukses, karena kerja keras sang ketua yang tidak hentinya marah marah dan mondar mandir seperti orang gila. Seperti saat ini, aku hanya tinggal melakukan pekerjaanku dibagian konsumsi bersama dua anak dari pengurus bagian lain. Tidak susah, hanya membagikan makanan ringan dan minuman.

Karena bagian pekerjaanku sudah selesai cukup lama, aku memilih tempat sedikit jauh dari lapangan tapi, masih bisa melihat keadaan lapangan. Siapa tahu mereka tiba tiba butuh bantuanku. Lantai dua koridor kelas menjadi pilihanku, sudah tentu gelap karena hari sudah begitu sore nyaris malam. Acara hampir mencapai puncaknya, angin berhembus lembut menerbangkan rambutku yang terikat tinggi. Tanganku tergerak menyentuh pipi bekas luka cakaran dua hari yang lalu, sudah tidak terasa apa pun.

"Cepat juga sembuhnya." Suara orang yang sangat kukenal, sudah berada disampingku. Aku tersenyum tipis mendengar komentarnya.

"Aku juga punya kekuatan itu meski tidak sempurna."

"Bukan, maksudku-" Dylan menarik nafas sejenak. "Lebih cepat kalo disembuhkan sama penyihir, bukan?"

Aku mengangguk, tentu saja.

"Kamu ketemu penyihir dimana?" Aku paham jika dia bingung bagaimana aku dengan mudahnya menemui penyihir padahal jumlah mereka hampir sangat sedikit.

"Bukan ketemu tapi, dipertemukan. Athala maksa buat menyembuhkanku saat aku dikediamannya. Jadi, aku tertahan beberapa saat disana." Aku jadi ingat ketika Athala memaksaku untuk tinggal sejenak usai membereskan masalahnya dipenjara. Ternyata dia menyiapkan 'dokter' untuk menyembuhkanku. Tidak ada komentar atau bertanya, itu cukup membuatku nyaman.

"Duke of North itu?"

"Iya."

Kami sama sama terdiam sejenak, nafasku perlahan menjadi berat. Sesak karena aroma darah yang menyengat. Padahal tidak ada yang terluka, itu yang tidak kusuka jika hidungku menjadi begitu sensitif. Dan sebaliknya, mataku tidak lagi mampu melihat jelas apalagi teliti. Fungsi penglihatanku berkurang drastis. Karena itu, bisa saja aku lepas kendali bahkan menyerang seseorang yang tidak bersalah sama sekali tanpa peduli siapa dia.

"Kamu disini bukan cuma gara gara nyari spot bagus buat liat acara'kan?" Dylan tiba tiba menatapku aneh. Aku memberinya cengiran khas kuda.

"Pinter deh." Kataku sambil memberikan kedipan sebelah mata. Dylan menampilkan wajah prihatin-jijiknya kepadaku. Jari kanannya bergerak menyentil dahiku.

"Aw! Sakit woy!" Kataku sambil mengusap dahi.

"Otak gak dipelihara atau gimana?? Ayo, kuantar kamu sekarang."

Ketika aku akan menjawab, sesuatu yang mengganggu penciumanku terasa begitu dekat sehingga terasa sangat menyengat dibanding sebelumnya. Dylan juga tidak banyak bereaksi, jadi kemungkinan besar dia juga menciumnya meski tidak sesensitif aku. Aku menyengir lebar karena bau itu.

"Keluarlah, aku tau kamu yang mengikutiku akhir akhir ini, bukan?" Aku tersenyum dengan mata kubuat melengkung. Kubalikkan tubuhku hingga berbalik menghadap koridor kelas yang sudah sangat gelap. Dylan hanya diam, tapi tubuhnya ikut berbalik dan dua tangannya ia simpan didalam saku celananya.

Cukup lama hingga orang itu benar benar keluar menunjukkan dirinya. Dia berjalan dari tikungan koridor arah tangga sebelah kanan. Tapi, langkahnya berhenti hampir tiga meter jauhnya dariku dan Dylan.

"Hai, Andi. Tidakkah kamu mau menyapaku secara formal dipertemuan kedua kita?" Aku tetap mempertahankan senyuman andalanku. Dia hanya diam. Aku tidak peduli apa yang dia pikirkan, yang jelas aku harus sedikit menjaga jarak dengannya.

"Kalian, kalian bukan manusia?"

Lihat selengkapnya